Tiga Ahli Hukum Tata Negara Silang Pendapat Perppu KPK
Utama

Tiga Ahli Hukum Tata Negara Silang Pendapat Perppu KPK

Alasan tak terpenuhi ihwal kegentingan memaksa karena pemberantasan korupsi masih dapat dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Tiga plt pimpinan KPK (kiri ke kanan) Indriyanto Seno Adji, Taufiqurahman Ruki, dan Johan Budi SP. Foto: RES
Tiga plt pimpinan KPK (kiri ke kanan) Indriyanto Seno Adji, Taufiqurahman Ruki, dan Johan Budi SP. Foto: RES
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK yang dikeluarkan Pesiden Joko Widodo dinilai tak memenuhi syarat kegentingan. Meski tersisa dua komisioner KPK, fungsi pemberantasan korupsi masih dapat dilakukan oleh lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Dengan begitu, fungsi negara dalam pemberantasan korupsi tak otomatis menjadi lumpuh.

Hal itu disampaikan ahli hukum tata negara, Irman Putra Sidin, saat dimintakan pandangannya menyikapi Perppu KPK di ruang Komisi III DPR, Rabu (2/4). Menurutnya, alasan penerbitan Perppu dalam rangka menjaga kesinambungan pemberantasan korupsi dapat terbantahkan. Pasalnya, tak ada ihwal kegentingan. Pemberantasan korupsi sejatinya tak saja dilakukan oleh KPK, tetapi juga dilakukan oleh institusi lain.

Apalagi, pencegahan korupsi tetap dapat berjalan tanpa adanya KPK. Pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tindakan yang tidak dibebankan ke KPK. “Jadi tidak ada alasan konstitusional presiden menerbitkan Perppu, apa lagi menerima Perppu sebagai kegentingan memaksa,” ujarnya.

Pemerintah, kata Irman, menerbitkan Perppu dengan alasan adanya kekosongan pimpinan KPK. Akibatnya, kinerja KPK terganggu. Lantas, Irman membandingkan dengan Polri yang tak memiliki Kapolri. Menurutnya, institusi bhayangkara tetap berjalan dengan pelaksana tugas tanpa diterbitkannya Perppu.

Ia berpandangan, ketiadaan pimpinan sebuah lembaga dalam kurun waktu tertentu tidak otomatis menjadikan kinerja lembaga terganggu kemudian menerbitkan Perppu. Meski tidak secara tegas menolak Perppu, Irman menyiratkan syarat diterbitkannya Perppu KPK tidak terpenuhi.

“Jangan terlalu sering presiden mengeluarkan Perppu. Jika mudah dikeluarkan Perppu dan DPR menerimanya maka ini ancaman terhadap kekuasaan DPR,” katanya.

Dosen hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, berpandangan Perppu menjadi hak prerogratif presiden. DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan memiliki peran membuat objektifitas alasan subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu. Dalam pandangan Zainal, penerbitan Perppu disebabkan beberapa alasan.

Pertama, dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto resmi berstatus tersangka. Sementara posisi Busyro yang sudah habis masa jabatannya kosong. Tersisa, dua pimpinan KPK yakni Adnan Pandupradja dan Zulkarnain. Ia menilai, dengan tersisa dua pimpinan KPK dalam menjalankan roda organisasi dan fungsi KPK akan lumpuh. Pasalnya, KPK dijalankan secara kolektif kolegial dengan lima pimpinan.

Zainal berpandangan, minimal KPK memiliki tiga komisoner maka lembaga anti rasuah itu dapat berjalan. Setidaknya, keputusan yang diambil tak terlalu dipersoalkan. Sebaliknya jika hanya dua pimpinan, keputusan KPK bakal dipersoalkan pihak lain. “Ketika hanya dua pimpinan, maka kegentingan cukup. Dari sisi itu, maka penting ini Perppu dikeluarkan,” katanya.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM itu menilai, Perppu itu bersifat hanya menggolkan tiga pelaksana tugas pimpinan KPK. Ia berpandangan Perppu bersifat ke depan ketika sudah disahkan menjadi UU. Pasalnya, selain kekosongan kepemimpinan di KPK, UU KPK banyak celah kekurangan yang mesti ditutup.

Atas dasar itulah, Zainal menilai DPR dapat menerima keberadaan Perppu untuk kemudian disahkan menjadi UU. “Saya merasa DPR cukup bisa menerima Perppu ini karena sulit ditolak. KPK tidak mungkin bekerja hanya dua pimpinan, maka pentingan dikeluarkan Perppu ini,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara Universitas Chaerun Ternate, Margarito Kamis, berpandangan keadaan genting dan memaksa merupakan faktual yang terjadi kala Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka. Begitu pula dengan Samad. Meski tersisa dua pimpinan KPK, Zulkarnain dan Pandu saat itu ikut dilaporkan pihak pelapor ke Bareskrim. Atas dasar itulah, dikhawatirkan jika kedua pimpinan KPK tersisa itu menjadi tersangka, maka kursi pimpinan KPK kosong.

Dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, mengatur terhadap pimpinan KPK yang menjadi tersangka maka mesti diberhentikan sementara oleh presiden. Menurutnya, keadaan tersebut berpengaruh terhadap kinerja fungsi KPK. Di lain sisi, negara berkewajiban melakukan kerja pemberantasan korupsi.

Misalnya, orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK mesti segera dilakukan pemeriksaan. Pasalnya, banyak tersangka yang ‘digantung’ status tersangkanya oleh KPK dengan tidak dilakukan pemeriksaan. Padahal mereka menunggu kepastian hukum. “Mereka yang tersangka harus segera diperiksa KPK dan ini menunjukan kegentingan dan diperlukan Perppu,” ujarnya.

Margarito tak yakin kosongnya kursi pimpinan, kemudian KPK dapat bekerja melaksanakan fungsi penecegahan dan pemberantasan korupsi. Sebaliknya, dengan diisinya kursi pimpinan KPK bakal menghasilkan keadaan hukum. “Jadi cukup alasan DPR menerima Perppu ini untuk dijadikan UU,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait