Menkominfo Mesti Jelaskan Mekanisme Penutupan Situs Berita
Berita

Menkominfo Mesti Jelaskan Mekanisme Penutupan Situs Berita

Tak adanya aturan yang jelas mengenai prosedur serta akuntabilitas dalam prosesnya, berakibat sering terjadi tindakan salah blokir.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Kemenkominfo. Foto: www.kominfo.go.id
Kemenkominfo. Foto: www.kominfo.go.id
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Yhannu Setyawan, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menjelaskan mekanisme dan prosedur penutupan situs berita yang dianggap membahayakan secara transparan. Dia menilai, sejauh ini hal itu belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat luas.

“Kalau dilihat dari luar, proses pengambilan keputusan untuk memblokir situs-situs tersebut cenderung dilakukan secara tertutup,” ujarnya di Jakarta, Rabu (1/4).

Ia berpendapat, upaya pemerintah yang secara tiba-tiba bakal memblokir tanpa adanya tindakan pendahuluan berupa peringatan, klariifikasi merupakan bentuk represif seperti halnya era orde baru. Padahal, saat ini sedang gencarnya membangun demokrasi yang sehat. Bukan sebaliknya, menghidupkan pemerintahan yang otoriter.

Menurutnya publik berhak mengetahui indikator apa saja yang menjadi dasar setiap keputusan yang bakal diambil pemerintah. Mulai aspek yuridis dan sosiologis. Ia menyitir Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Setidaknya, ada jaminan masyarakat memperoleh informasi dari badan publik terkait semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan, pertimbangan, orang yang terlibat, serta dokumen pendukung lainnya.

“Sebagai badan publik pemerintah, apalagi yang membidangi komunikasi dan informatika, saya berharap Kemenkominfo dapat menjadi tauladan yang baik dalam mengimplementasikan UU KIP,” ujarnya.

Peneliti ELSAM Wahyudi Djafar menambahkan, ketiadaan aturan yang jelas mengenai pengawasan terhadap konten internet dan mekanisme pembatasan merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah dengan menutup hanya berdasarkan alasan subyektif. Ia menilai, setidaknya terdapat dua UU yang secara ekpslisit memberikan wewenang pemblokiran terhadap konten internet.

Namun dalam praktiknya, tanpa landasan hukum yang jelas, pemerintah melalui Kemenkominfo telah mengembangkan program database trust yang berisi daftar hitam situs layak blokir. Program ini kemudian dilegalisasi dengan lahirnya Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif, yang saat ini tengah dalam proses pengujian di Mahkamah Agung.

“Tiadanya aturan yang jelas mengenai prosedur serta akuntabilitas dalam prosesnya, berakibat terjadi tindakan salah blokir,” katanya.

Wahyudi berpendapat, pemblokiran terhadap konten internet memang boleh dilakukan oleh negara. Langkah itu sebagai bentuk pembatasan terhadap hak atas kemerdekaan berekspresi. Namun demikian dalam pembatasannya musti mengacu pada kaidah dan prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh Konstitusi maupun hukum internasional hak asasi manusia.

“Sepanjang belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur mengenai pembatasan konten internet, termasuk mekanisme pemblokirannya, hendaknya Kemenkominfo tidak memberikan perintah pemblokiran pada penyedia layanan internet (ISP), untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak asasi lanjutan,” ujarnya.

Mengadu ke Komisi I
Sejumlah pimpinan situs berita yang bakal menjadi korban penutupan oleh Menkominfo mengadu ke komisi I. Mereka adalah VOA-Islam.com, Arrahmah.com, Eramuslim.com, Dakwatuna.com dan Hidayatullah.com.

Anggota dewan redaksi situs berita VOA-Islam.com, Aendra Medita, mengatakan tindakan Menkominfo yang bakal menutup 22 situs berita dilakukan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Malahan, tanpa peringatan maupun meminta klarifikasi terlebih dahulu.

“Ini tiba-tiba ditutup begitu saja tanpa ada panggilan pertama, kedua atau bahkan peringatan lebih dulu. Ini kan negara hukum, ada aturannya,” ujarnya.

Menurutnya, pembredelan terhadap situs berita mesti mendapat putusan dari pihak pengadilan. Setidaknya, penetapan pihak pengadilan. Ia berpandangan pemerintah rezim Joko Widodo menghidupkan kembali era orde baru. “Penutupan ini harus ada ijin dari pihak pengadilan, tidak bisa seenaknya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait