Ironi “Peradilan” Sengketa Pilkada
Oleh: Mohammad Saihu *)
Kolom

Ironi “Peradilan” Sengketa Pilkada
Oleh: Mohammad Saihu *)

DKPP adalah role model penegakan kode etik abad XXI yang menganut asas fairness, impartiality dan transparency dalam satu model peradilan yang dilaksanakan menurut prinsip “audi et alteram partem”.

Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa
Pada 17 Februari 2015, Sidang Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Guburnur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada). Ironis, karena sehari setelahnya, di Mahkamah Konstitusi (MK) langsung teregistrasi permohonan perkara pengujian undang-undang yang baru saja disahkan DPR itu, meskipun undang-undangnya belum diberi nomor.

UU  yang lahir dari Perppu No. 1 Tahun 2014 ini, sebenarnya telah mengalami sejumlah perubahan. Namun sayang, kelahirannya oleh sebagian kelompok masih dilihat prematur dan seperti “kejar tayang”. Justru awal kekecewaan datang dari sejumlah fraksi di DPR yang merasa kepentingannya tidak 100 persen diakomodasi. Tersiar berita bahwa Fraksi Demokrat, Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), PKB, PPP, dan Nasdem masih memberi catatan alias belum sepenuhnya puas. 
Fraksi Demokrat misalnya, partai besutan SBY ini mempersoalkan dihapuskannya gagasan tentang uji publik bagi calon kepala daerah. Fraksi Gerindra mempersoalkan calon kepala daerah yang harus mengundurkan diri sebagai anggota TNI, Polri dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon (Pasal 7 huruf t). Catatan yang lain datang dari PKB terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinilai terlalu lama.
Pasal 201 ayat (1-7) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015 merinci tahapan pilkada sebagai berikut: Tahap Pertama, Desember 2015, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 sampai pada bulan Juni  2016. Tahap Kedua,  Februari 2017, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli - Desember 2016 dan 2017. 

Tahap Ketiga, Juni 2018, untuk kepala daerah yang jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019. Tahap Keempat, tahun 2020, untuk kepala daerah hasil pemilihan 2015. Tahap Kelima, pada 2022, untuk kepala daerah hasil pemilihan pada 2017. Tahap Keenam, pada 2023, untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018. Baru pada Tahap Ketujuh, tahun 2027 Pilkada betul-betul serentak akan dapat dilaksanakan secara nasional.

Tahun 2027 adalah periode ketiga setelah masa keanggotaan DPR saat ini (2014-2019, 2019-2024, 2024-2029), padahal tidak ada jaminan kepastian hukum jika tahapan itu tidak berubah.

Pasal 157 ayat (3) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015 menyebutkan  bahwa "perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus".

Kembali menyerahkan sengketa pilkada kepada MK, jelas berlawanan dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014. Dalam putusannya, MK menyatakan tidak (lagi) mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada. MK juga menyebut pilkada bukan bagian dari rezim pemilu.

Ini seperti menjadikan MK sebagai lembaga penitipan perkara, suatu kebijakan yang dipaksakan, apalagi bukan sementara. Karena pada Pasal 157 ayat (2) dijelaskan, bahwa  badan peradilan khusus baru akan terbentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional (yang baru akan dilaksanakan pada tahun 2027).

Masalahnya sama dengan penetapan pilkada yang panjang, apakah ada kepastian hukum bahwa badan/lembaga peradilan khusus itu pasti akan dapat terbentuk pada waktunya. Apalagi jika dihadapkan dengan kontroversi tentang pembentukan badan/lembaga baru. Belum lagi soal UU Pilkada yang rawan gugatan (judicial review)

Perkara “saling lempar” wewenang di antara lembaga peradilan yang menangani sengketa hasil pilkada memiliki sejarah yang cukup panjang. Pertama, bermula dari amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, DPR menyerahkan penyelesaian sengketa pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). MA langsung mengadili sendiri sengketa hasil pemilihan gubernur, sementara untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi. Dalam perkembangannya (sejak 2005 hingga 2008), putusan MA justru menuai banyak kontroversi. Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap MA saat itu sangat rendah, belum lagi dengan perkara di MA yang menumpuk. Itulah alasan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada MK.

Kedua, lahirlah UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang memasukkan pilkada ke dalam rezim Pemilu. Pada Bab I Pasal 1 menyebutkan, Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut, sesuai Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945 memungkinkan Mahkamah Konstitusi untuk memutus Perselisihan Hasil Pilkada.

Ketiga, terbit UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan tentang pengalihan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Pasal 236C  berbunyi “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Sejak itulah, maka sengketa hasil pilkada ditangani oleh MK. Dalam perkembangannya (2008–2013), MK banyak mendapatkan apresiasi, kepercayaan masyarakat sangat tinggi terhadap ratusan kasus sengketa pilkada yang ditangani oleh MK. Sampai pada Oktober 2013, MK terlilit kasus M Akil Mochtar yang membuat kepercayaan publik runtuh. Pakar HTN (alm) Fajrul Falaakh menyebutnya sebagai "kegentingan MK".

Keempat, MK menguji konstitusionalitasnya mengadili sengketa pilkada berdasaramanat Konstitusi Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, di mana Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”. Bunyi pasal ini tidak menyebutkan untuk memilih Kepala Daerah. Artinya konstitusi dinilai tidak memasukkan Pilkada ke dalam Bab yang mengatur tentang Pemilu. Dengan begitu, maka Pilkada tidak dapat digolongkan dalam rezim pemilu. Dan, atas dasar itu, konstitusionalitas MK dalam penanganan sengketa pilkada dianggap tidak sah. MK akhirnya mengeluarkan Putusan No. 97/PUU-XI/2013, yangmenyatakan MK tidak lagi berwenang menangani sengketa hasil pilkada. MK menyatakan hanya berwenang menangani rezim pemilu, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Kelima, muncul Perppu No. 1 Tahun 2014. Berdasar pada putusan MK, Presiden SBY memasukkan Pasal 157 ayat (1) berbunyi “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung”.

Sebenarnya, pelimpahan penyelesaian sengketa kepada MA telah mendapatkan sokongan dari  pemerintah, dalam hal ini  Kementerian Dalam Negeri. Namun, hanya karena alasan penolakan, kekurangsiapan sebagian hakim agung di MA (sebagian Hakim Agung yang lain menyatakan siap), DPR dengan sangat “tidak hati-hati” menyerahkan kembali kewenangan sengketa hasil pilkada kepada MK.  Alasan yang sangat naif.

Sama naifnya, jika “saling lempar” wewenang dari MA ke MK, kemudian MK ke MA, lalu MA ke MK lagi ini karena persoalan-persoalan di luar landasan konstitusi. Tidak dapat dipungkiri, ketika pertama kali kewenangan MA dipersoalkan, adalah karena sejumlah kasus sengketa pilkada yang ditangani MA namun berujung kontroversial, seperti; kasus Pilkada Depok tahun 2005,Pilkada Maluku Utara tahun 2007, dan Pilkada Sulawesi Selatan tahun 2007.

Kemudian, ketika MK melepaskan kewenangannya, juga tidak dapat disangkal, bahwa itu terkait dengan peristiwa menggemparkan, saat Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan KPK karena menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih.  Akil pun  dibui dan diganjar hukuman seumur hidup (2 Oktober 2013). Sesaat setelah kejadian itu, kepercayaan masyarakat terhadap MK runtuh hingga titik nadir. Memang, umumnya masyarakat tidak menolak kewenangan MK. Namun MK sendiri yang menghapuskan kewenangan tersebut dalam Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.

Terlepas dari kasus-kasus yang membelit kewenangan kedua lembaga tersebut dan mengacu pada Putusan MK yang terahir, mestinya keputusan MK harus dihargai, karena putusan MK telah melandaskan pada ketidaksesuain UU yang mengatur Pemilihan Kepala daerah dengan UUD 1945. Namun, ketika DPR tetap “mengembalikan” kewenangan kepada MK hanya karena ketidaksiapan sebagian Hakim Agung Mahkamah Agung. Maka, keputusan untuk mengembalikan wewenang kepada MK menjadi sewenang-wenang.

Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada
Jika merunut pada Pasal 157 ayat (2) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015 tentang badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada. Maka berarti badan peradilan khusus itu baru akan berfungsi pada Pemilu 2027. Ini dengan asumsi jika penjadwalan pemilu serentak nasional itu akan berjalan lancar.

Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Membentuk lembaga baru akan muncul banyak konsekuensi, di antaranya; persiapan (waktu), pemimpin lembaga - rekruitmen, birokrasi – pegawai, dan sudah barang tentu anggaran baru; kepegawaian, kebutuhan operasional, infrastruktur dll. Selain butuh waktu yang panjang, pembentukan pengadilan khusus pasti akan menambah pemborosan anggaran negara. Ini juga tidak sejalan dengan semangat Presiden Jokowi tentang perampingan lembaga Negara. Dalam 100 hari pemerintahannya, Jokowi telah membubarkan 10 lembaga Negara non departemen, sumber media Jokowi juga sudah merancang Perpres untuk melikuidasi 40 lagi lembaga yang tugas dan kewenangannya dapat dialihkan kepada lembaga negara lainnya. 

Refly Harun (rumahpemilu.org) menyatakan, dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu, termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional.

Kepada parlemen, saya berpendapat bahwa “parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap parlemen sangat rendah”.Oleh karena itu, wacana untuk menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pilkada kepada lembaga penyelenggara pemilu, justru menjadi pilihan yang lebih tepat.

Yang harus diperhatikan bahwa, lembaga penyelenggara pemilu, selain KPU dan Bawaslu, juga ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.

Jika merunut pada UU No. 11 Tahun 2015, dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, KPU, Bawaslu, masih harus tunduk dan melaksanakan keputusan DKPP. Pasal 8 ayat (4) butir k, berbunyi “KPU dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota berkewajiban “melaksanakan keputusan DKPP”.

Pasal 73 ayat (2) Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis. Ayat (3) butir b.12, Tugas Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas:  “Pelaksanaan putusan DKPP”.

DKPP adalah role model penegakan kode etik abad XXI yang menganut asas fairness, impartiality dan transparency dalam satu model peradilan yang dilaksanakan menurut prinsip “audi et alteram partem”. Selain itu, putusan DKPP bersifat final dan mengikat (binding) - sejalan dengan pengadilan sengketa hasil pilkada yang kewenangannya sudah dijalani MA maupun MK.

DKPP sebagai lembaga peradilan etika, juga sudah sangat efektif menjalankan tugas dan kewenanngannya. Sejak dibentuk pada 12 Juni 2012 hingga per 31 Desember 2014, DKPP telah menerima pengaduan sebanyak 1.561 kasus, dengan rincian pada tahun 2012 menerima pengaduan sebanyak 99 kasus, tahun 2013 sebanyak 577 kasus, dan pada tahun 2014 sebanyak 885 pengaduan. Sebanyak 500 pengaduan dan/atau laporan yang memenuhi syarat untuk disidangkan dengan putusan yang bervariasi seperti rehabilitasi, peringatan tertulis yang terdiri dari; peringatan biasa dan peringatan keras serta pemberhentian dari jabatan sebagai penyelenggara pemilu.

Pada tahun 2015, meski Pemilu sudah cukup lama berlalu, pengaduan demi pengaduan masih terus mengalir, DKPP pun terus sibuk menangani berbagai pegaduan, terakhir (Selasa, 17 Maret 2015), DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada salah seorang penyelenggara pemilu karena kasus narkoba (baca; berita dkpp.go.id).

Bukti kepercayaan publik terkait efektivitas kinerja DKPP diperoleh dari hasil polling yang dibuat DKPP pada situs www.dkpp.go.id. Dari total  5110143 pengunjung halaman website DKPP: 54,4% menyatakan sangat efektif, 20.7% menyatakan efektif, dan 24,9% menyatakan biasa saja. (data diambil pada hari Selasa, 24 Maret 2015, pukul 10.00 WIB).

Ke depan, kita berharap DPR mampu mewujudkan cita-cita untuk terbentuknya badan/lembaga peradilan khusus sengketa pilkada yang sesuai harapan publik; efektif, efisien dalam hal fungsi kelembagaan dan transparan, accountable dalam hal tugas dan tanggungjawab mengadili sengketa hasil pilkada.    

*Alumni Magister Ilmu Politik UI, TA DKPP 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait