Satu Dasawarsa UU Penghapusan KDRT
Berita

Satu Dasawarsa UU Penghapusan KDRT

KUHP malah bisa menghambat pengungkapan kasus KDRT.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Laporan Tahunan LBH Apik, Selasa (14/4). Foto: RES
Acara diskusi Laporan Tahunan LBH Apik, Selasa (14/4). Foto: RES
Satu dasawarsa UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dinilai belum optimal melindungi perempuan dari kekerasan. Sebab, hingga sepuluh tahun UU itu berjalan, pengaduan atas KDRT masih marak. UU ini mulai berlaku pada 22 September 2004.

Staf Pelayanan Hukum LBH Apik, Rinto Tri Hasworo, menunjukkan data. Pada 2014, LBH Apik telah menerima 704 kasus yang diadukan, dan dari jumlah itu 527 kasus berkaitan dengan KDRT. Ia memastikan pengaduan terbanyak per tahun sepanjang periode 2010-2014 adalah KDRT.

"Sepuluh tahun UU PKDRT, tapi kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Kasus paling banyak yang diterima LBH Apik setiap tahun terkait KDRT," katanya dalam diskusi sekaligus peluncuran catatan tahunan 2014 LBH Apik di Jakarta, Selasa (14/4).

Data yang dirilis LBH Apik hanya puncak gunung es. Rinto yakin banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan baik kepada aparat penegak hukum maupun ke lembaga penyedia layanan. Tidak jarang perempuan yang mengalami kekerasan memilih diam ketimbang melapor karena merasa malu atau takut. Kekerasan yang dialami perempuan acapkali dianggap dan diposisikan sebagai aib.

Faktor lain yang membuat korban enggan mengadu, dikatakan Rinto, yakni masih ketergantungan dengan pelaku kekerasan seperti suami atau atasannya. Jika mengadu korban khawatir kehilangan nafkah atau pekerjaan. Minimnya pengetahuan hukum juga jadi salah satu sebab korban enggan melapor kekerasan yang dialaminya. "Tidak semua kasus KDRT diadukan korban ke polisi atau lembaga layanan, ada juga yang mengajukan gugatan cerai," ujarnya.

Selain KDRT, LBH Apik menyoroti masalah kekerasan seksual. Lingkupnya seperti perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, percobaan perkosaan dan eksploitasi seksual. Pada 2014 LBH Apik menangani 28 kasus kekerasan seksual dan 3 kasus diantaranya berproses ke pengadilan. Ironisnya, korban kekerasan seksual paling banyak dialami anak yakni 9 kasus. Pelakunya pun orang-orang terdekat korban.

Walau begitu bukan berarti kasus yang diadvokasi LBH Apik berjalan lancar. Rinto mencatat ada sejumlah hambatan dan tantangan yang dihadapi. Misalnya, belum ada kesepahaman aparat penegak hukum mengenai pembuktian minimal dalam UU PKDRT. Dalam proses pembuktian, aparat lebih menekankan alat bukti keterangan saksi. Padahal, Pasal 184 KUHAP ada empat alat bukti lain yang bisa digunakan. Kemudian, proses hukum lambat.

Direktur LBH Apik, Ratna Batara Munti, mengatakan akan terus mendorong agar revisi KUHP dan KUHAP segera rampung. Regulasi itu penting dalam proses penegakan hukum guna melindungi serta pemenuhan hak korban.

Kepala Seksi Penyelenggaraan Pembahasan Undang-Undang Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Reza Fikri Febriansyah, menegaskan pemerintah akan fokus mendorong bagaimana revisi KUHP dibahas kembali di DPR. Pada periode lalu, pembahasan di DPR belum selesai. Namun, ia mengatakan secara umum pemerintah menangkap pandangan masing-masing Fraksi di DPR periode lalu terhadap revisi KUHP. Hanya fraksi Nasdem yang belum diketahui pandangannya sebab baru periode sekarang masuk DPR.

"Kami berharap revisi KUHP dapat memuat ketentuan yang bisa meningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak," ujar Reza.

Kanit PPA Polres Jakarta Timur (Jaktim), AKP Endang Sri Lestari, mengatakan KUHP yang berlaku saat ini menghambat penegakan hukum terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Misalnya, untuk kasus pemerkosaan, KUHP menuntut harus ada ancaman kekerasan dari pelaku terhadap korban. Akibatnya, tidak sedikit kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mandek proses hukumnya.

"Dengan direvisinya KUHP diharapkan dapat membantu aparat dalam menegakkan hukum kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," tukas Endang.

Sebagaimana LBH Apik, Endang menjelaskan Polres Jaktim juga banyak menerima laporan masyarakat tentang kasus KDRT. Pelaku dan korban kekerasan variatif mulai dari anak sampai usia lanjut. Kemudian, tidak jarang pelaku merupakan orang terdekat korban seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, paman dan guru. "Kasus KDRT paling banyak diterima unit PPA Polres Jaktim, kemudian disusul kekerasan seksual terhadap anak," ujarnya.

Kesulitan lain yang dihadapi Endang ketika menangani kasus yang korbannya penyandang disabilitas. Misalnya, ketika melakukan wawancara kepada korban. Walau begitu Endang menegaskan pihaknya berupaya agar kasus yang diadukan bisa berlanjut ke pengadilan.
Tags:

Berita Terkait