Presiden Jokowi Harus ‘Turun Gunung’ Tangani TKI di Saudi
Utama

Presiden Jokowi Harus ‘Turun Gunung’ Tangani TKI di Saudi

Tak ada pemberitahuan, seolah pemerintah Saudi tidak menganggap adanya pemerintah Indonesia. Pekan depan, Komisi IX minta penjelasan pemerintah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Presiden RI, Joko Widodo. Foto: RES
Presiden RI, Joko Widodo. Foto: RES
Pemerintah Arab Saudi telah menghukum mati dua warga negara Indonesia. Ironisnya, eksekusi dilakukan tanpa memberitahukan kepada pihak perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi. Pemerintah Saudi dinilai menyepelekan pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo mesti ‘turun gunung’ dengan menghubungi Raja Arab, Salman bin Abdul Aziz.

“Beliau (Jokowi) pemimpin, harus mampu menelepon raja Saudi, menyatakan keberatan dan nego untuk Tenaga Kerja Indonesa (TKI) yang masih banyak di sana (terancam hukuman mati, red). Kalau hanya surat mungkin kurang dianggap,” ujar Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, di Gedung DPR, Jumat (17/4).

Siti Zaenab adalah satu dari ratusan TKI yang dieksekusi Pemerintah Saudi pada Selasa (14/4) lalu. Belum juga sepekan, pemerintah Saudi melakukan hal serupa terhadap TKI asal Brebes, Karni binti Medi Tarsim pada Kamis (16/4) pukul 10.00 waktu Saudi. Selain kedua TKI itu, kata Dede Yusuf, masih terdapat 140 warga negara Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati.

Jika pemerintah Indonesia tidak menyikapi dengan serius, boleh jadi pemerintah Saudi akan melakukan eksekusi tanpa diketahui pemerintah Indonesia melalui perwakilan di Jeddah. “Dalam dua hari ini ada hukuman mati tanpa pemberitahuan, artinya pemerintah kita dianggap tidak ada oleh pemerintah Saudi. Itu artinya, hubungan bilateral dua negara ini tidak berjalan dengan optimal,” ujarnya.

Sebagai kepala negara, Jokowi mesti mampu berkomunikasi dengan kepala negara lain. Apalagi, Saudi memiliki raja baru setelah wafatnya Raja Abdullah bin Abdulaziz. Dede menegarai, raja Salman belum mengenal Indonesia. Bahkan mungkin, belum memahami pentingnya Indonesia.

Padahal, Indonesia salah satu penyumbang devisa dari jamaah haji terbesar di banding dengan negara lain. Komunikasi dengan pemerintah Saudi tak saja melalui menteri, tetapi presiden mesti melakukan hal serupa. “Tentu di sini kita butuhkan, presiden mampu melakukan komunikasi dengan raja Arab Saudi,” mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan akan mengundang pemerintah. Tak saja Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Dede mengatakan jadwal rapat dengan pemerintah akan digelar awal pekan depan. “Saya sudah kontak sekretariat untuk agendakan rapat tersebut,” ujarnya.

Wakil Ketua Komite III DPD, Abraham Paul Lianto mengatakan Presiden mesti turun tangan ketika terdapat warga negaranya yang akan dihukum mati. Berbeda halnya dengan pemerintah Australia ketika ada warga negaranya yang akan dieksekusi di Indonesia, mereka menggunakan berbagai cara untuk menunda eksekusi.

Menurutnya, jika Jokowi tidak turun tangan langsung, nasib 36 TKI dari 140 yang menunggu eksekusi bakal mengalami hal serupa dengan Zaenab dan Karni. “Presiden Jokowi harus turun tangan. Presiden Australia saja turun tangan ketika warga negaranya mau dieksekusi. Jangan sampai 36 orang lagi menyusul. Ini sudah ranahnya presiden. Tindakan cepat harus ada instruksi dari presiden,” katanya.

Senator asal Nusa Tenggara Timur itu mengatakan komitenya telah memberikan masukan kepada Kemenaker. Mulai penguatan aspek perlindungan dalam mengantisipapsi agar TKI tak mengalami persoalan hukum di negara penempatan. Selain itu, pemerintah mesti melakukan pengurangan, bahkan penghentian penempatan TKI informal dan mendorong tenaga kerja di sektor formal.

Tak kalah penting KBRI mesti berperan aktif melakukan pengawasan, perlindungan, dan pembelaan terhadap TKI di daerah kerjanya. Mulai upaya diplomasi, sosialisasi dan perangkulan bagi TKI yang ada di negara penempatan.

“Selain itu PJTKI yang memberangkatkan tidak bisa begitu saja lepas tangan, tetapi tetap melakukan pengawasan kepada setiap TKI yang mereka berangkatkan. Pemerintah juga harus dengan jelas menginformasikan negara mana saja yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sehingga PJTKI mengirimkan Tki hanya ke negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dan PJTI harus mematuhi moratorium yang ada,” katanya.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Ahmad Hanafi Rais, berpandangan Kementerian Luar Negeri mesti maksimal melalui pendampingan hukum kepada TKI di Saudi. Tak saja melalui advokat, tetapi juga penerjemah. Pendampingan hukum mesti terus dilakukan melalui perwakilan pemerintah Indonesia  di Saudi. Apapun perkembangan informasi mesti dikabarkan ke tanah air.

Tak saja di tingkat hulu, pengiriman TKI ke Saudi mesti diawasi mulai dari hilir. Menurutnya penggiriman buruh migran ke Saudi mesti melalui seleksi ketat. Tak saja kemampuan, tetapi juga psikologi bagi TKI mesti dilakukan tes. Dengan begitu, TKI yang berangkat ke Saudi tak saja siap dengan kemampuan dan keterampilan, tetapi juga sehat secara kejiwaan. “Jangan sampai memadamkan  kebakaran di luar, tetapi di hulunya di sini tidak,” katanya.

Politisi Partai Amanat Nasional itu mengatakan eksekusi mati di Saudi memang terkesan tertutup. Menurutnya asas keterbukaan di Saudi belum sebaik di Indonesia. Terlepas dari masing-masing memiliki kedaulatan hukum, maka persoalan hukum berlaku berdasarkan asas keadilan.

“Semua orang di dunia saya kira sepakat itu. Jadi kalau sudah masuk proses pengadilan, baiknya transparan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait