Dirugikan Aturan PK Sekali, Advokat Uji UUMA
Berita

Dirugikan Aturan PK Sekali, Advokat Uji UUMA

Majelis menyarankan agar lebih baik klien pemohon yang mengajukan permohonan ini sebagai prinsipal.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
(Ki-Ka) Muhamad Zainal Arifin selaku Pemohon didampingi kuasanya Riko Wibawa Sitanggang dan Heru Setiawan hadir dalam sidang perdana pemeriksaan perkara pengujian UU MA, Selasa (21/4). Foto: Humas MK
(Ki-Ka) Muhamad Zainal Arifin selaku Pemohon didampingi kuasanya Riko Wibawa Sitanggang dan Heru Setiawan hadir dalam sidang perdana pemeriksaan perkara pengujian UU MA, Selasa (21/4). Foto: Humas MK
Meski putusan MK bernomor 34/PUU-XI/2013 telah menyatakan peninjauan kembali (PK) boleh diajukan berkali-kali melalui uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Namun, ternyata ketentuan yang membatasi pengajuan PK hanya sekali masih bercokol di Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dua ketentuan itulah yang kini tengah dimohonkan pengujian oleh Muhammad Zainal Arifin yang berprofesi sebagai advokat dan konsultan hukum di MK. Pemohon menganggap ketidakselarasan antar undang-undang yang mengatur soal PK ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam sidang perdana kuasa hukum pemohon, Riko Wibawa Sitanggang, menilai ketentuan yang membatasi PK hanya sekali di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai  dengan konstitusi. Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat satu kali saja sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2013.

“Putusan MK itu menjadi dasar, bahwa pengaturan antar undang-undang harus konsisten dan koheren satu dengan lainnya, tidak boleh kontradiksi agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang adil,” ujar Riko dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Selasa (21/4). Anwar Usman didampingi Patrialis Akbar dan Aswanto sebagai anggota majelis panel.

Pasal 66 ayat (1) UU MA menyebutkan permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali. Sedangkan, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK.

Riko melanjutkan akibat adanya aturan itu permohonan PK perkara pidana yang diajukan lebih dari satu kali tidak dapat diterima berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri dan berkas permohonan PK tidak akan dikirimkan ke MA. Alasannya, terdapat SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali dimana Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menjadi dasar penerbitan SEMA ini.

Dia mengungkapkan akibat aturan yang membatasi PK ini, upaya hukum PK lebih dari satu kali yang diajukan kliennya berpotensi tidak diterima pengadilan. Padahal, permohonan PK-nya terdapat novum yang dapat mempengaruhi putusan sebelumnya, seperti keterangan saksi dan bukti transfer yang menunjukan klien pemohon tidak menikmati uang korupsi. Novum yang subtansial ini baru ditemukan di kemudian hari.

“Pembatasan PK ini dinilai membuat pemohon selaku advokat berpotensi dirugikan karena tidak dapat melakukan upaya hukum maksimal (PK lebih dari sekali) dalam mendampingi klien,” akunya.

Dalam pertitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali berlaku untuk perkara pidana.

Menanggapi permohonan, Patrialis Akbar meminta agar pemohon memperjelas kerugian konstitusionalnya. Sebab dalam permohonannya kerugian pemohon dilandaskan pada kerugian yang dialami kliennya. Ia pun menyarankan agar lebih baik klien pemohon yang mengajukan permohonan ini sebagai prinsipal.

Menjawab pertanyaan Patrialis, Zainal mengatakan sebagai advokat ia telah disumpah untuk menegakkan hukum. Jadi, apabila ada kliennya tidak bisa mengajukan upaya PK untuk kedua kali karena ada ketentuan yang dibatasi PK hanya sekali hal tersebut juga menjadi kerugiannya. Sebab, akibat pembatasan PK tersebut, dirinya merasa tidak bisa menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Saya sudah berdiskusi dengan klien saya agar dia yang mengajukan uji materi ke MK. Tetapi, ini sebenarnya masalah strategi saja. Klien saya sudah ajukan PK ditolak. Lalu sudah ada beberapa novum mau ajukan PK lagi. Kalau klien saya yang ajukan sebagai pemohon, untuk upaya PK yang kedua kali takutnya MA dendam,” ungkapnya.

Dia mengingatkan yang mengajukan uji materi harus memiliki hak konstitusional yang dirugikan atau potensial dirugkan dengan berlakunya norma. “Pemohon harus memiliki kerugian langsung, kalau yang mengajukan memiliki kerugian langsung MK tidak akan kesulitan mencari legal standing pemohon. Ini agar dipikirkan kembali soal kedudukan hukum pemohon,” ujarnya mengingatkan.

Patrialis pun menjelaskan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang tidak membatasi pengajuan PK dan membatasi tindak pidana karena berhubungan dengan perspektif keadilan. “Kalau novum klien pemohon memang betul ada, maka tidak ada alasan untuk menolak PK,” kata Patrialis. 
Tags: