RUU KUHAP Buka Opsi Penyelesaian di Luar Pengadilan
Utama

RUU KUHAP Buka Opsi Penyelesaian di Luar Pengadilan

Salah satu ukurannya jika tersangka berusia 70 tahun lebih. Tapi UU lain menyebut lansia itu sudah mulai usia 60 tahun.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) mengapresiasi mekanisme penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan masuk dalam RUU KUHAP. Anggota KuHAP dari LBH Jakarta, Pratiwi Febri, mengatakan pasal 42 ayat (2) sampai (5) RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan tersebut. Menurut ketentuan ini penuntut umum berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu menghentikan penuntutan dengan syarat atau tanpa syarat.

Dalam ketentuan itu, dikatakan Pratiwi, syarat-syarat penyelesaian di luar pengadilan yakni tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan, ancamannya penjara paling lama empat tahun dan tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda, atau umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 tahun, dan kerugian sudah diganti.

Namun, untuk mempersempit ruang diskresi dan penyalahgunaan wewenang, membuka partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum serta berorientasi pada keadilan Pratiwi menyebut ada sejumlah hal yang perlu ditambahkan dalam ketentuan itu. Misalnya, proses penyelesaian sengketa harus mendapat persetujuan dari korban dan hakim pemeriksa pendahuluan.

Pratiwi melanjutkan, pihak ketiga yang dirugikan akibat dihentikannya penuntutan dapat mengajukan keberatan kepada hakim pemeriksa pendahuluan. Lalu, apabila hakim pemeriksa pendahuluan mengabulkan keberatan sebagaimana diatur maka penuntut umum wajib melanjutkan penuntutan.

Pratiwi menjelaskan dalam diskusi di komite, berbagai syarat untuk menghentikan penuntutan itu sifatnya alternatif, bukan akumulatif. Jika ada satu syarat saja yang terpenuhi, penuntutan dapat dihentikan. "Tapi tidak semua kasus pidana yang dilakukan lansia sebagai pelaku bisa diselesaikan di luar peradilan pidana, tapi khusus untuk kasus yang ancaman pidananya paling lama 5 tahun," katanya dalam diskusi yang digelar KuHAP di Jakarta, Selasa (21/4).

Wakil Kepala Divisi Tindak Pidana Umum LBH Mawar Saron, Juliandy Dasdo, mengusulkan agar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP atau disebut Perma Penyesuaian Tipiring diadopsi dalam RUU KUHAP. Intinya, Perma itu mengatur agar perbuatan pidana yang masuk kategori ‘tindak pidana ringan’ diselesaikan tanpa melewati proses peradilan pidana biasa. "Kami apresiasi Perma itu karena banyak kasus pidana ringan yang tidak perlu masuk peradilan pidana biasa," ujarnya.

Sayangnya, Perma Tipiring itu belum berjalan efektif dan efisien. Dari berbagai kasus tindak pidana ringan yang diadvokasi LBH Mawar Saron, Juliandy menyebut tidak ada satu pun permohonan dikabulkan untuk menggunakan mekanisme sebagaimana diatur Perma yakni pemeriksaan acara cepat, hakim tunggal dan tanpa penahanan. Agar lebh kuat, materi Perma perlu diadopsi dalam RUU KUHAP, dan pelaksanaannya diawasi ketat.

Pikun itu Relatif
Pengajar FHUI, Eva Achjani Zulfa, mengingatkan UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (lansia) mendefenisikan lansia sebagai orang yang berumur 60 tahun ke atas. Orang pada usia itu secara umum kesehatannya baik mental dan fisik dianggap menurun. Namun, menurunnya kondisi kesehatan itu seperti pikun tergolong relatif. Walau begitu potensinya sangat besar menyerang orang usia 60 tahun ke atas.

Atas dasar itu masih ada kemungkinan bagi lansia dituntut pertanggungjawabannya dalam kasus pidana. Namun, perlu dipertanyakan kembali ketika lansia dipidana, apa tujuan yang mau dicapai, apakah memberi efek jera, pembinaan atau mendidik sebagaimana yang dilakukan dalam peradilan pidana anak.

Eva menyoroti ketentuan RUU KUHAP yang memberi kewenangan kepada penuntut umum untuk menghentikan penuntutan terhadap lansia yang melakukan pidana. Menurutnya, pasti akan ada pihak yang keberatan, misalnya korban. Untuk itu ketentuan tersebut harus mempertegas kualifikasi tindak pidana yang dimaksud.

Apalagi, dikatakan Eva, tidak sedikit pejabat negara yang diangkat ketika berusia lanjut atau di atas 60 tahun. Ia khawatir pejabat negara itu ketika melakukan korupsi bisa bebas dari pidana karena usianya telah masuk lansia. Oleh karenanya kualifikasi tindak pidana dalam ketentuan itu harus dipertegas. “Kualifikasi tindak pidananya apa? Itu yang harus dipertajam dalam RUU KUHAP,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait