Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internasional
Berita

Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internasional

DPR memandang ketiadaan jangka waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya persoalan teknis, bukan persoalan konstitusionalitas norma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
I Putu Sudiartana selaku perwakilan DPR hadir untuk menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Arbitrase, Selasa (21/4). Foto: Humas MK
I Putu Sudiartana selaku perwakilan DPR hadir untuk menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Arbitrase, Selasa (21/4). Foto: Humas MK
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menegaskan Pasal V New York Convention 1958 – yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 – telah menyebut syarat-syarat penolakan atas putusan arbitrase internasional. Adapun pembatalan putusan arbitrase internasional merupakan kewenangan negara dimana putusan arbitrase itu dijatuhkan termasuk beberapa pilihan hukum yang disepakati para pihak dan arbiter.

“Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tidak dapat membatalkan putusan arbitrase (internasional) yang dijatuhkan di luar wilayah Indonesia. Sehingga, Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan itu,” ujar Wakil Ketua BANI M. Husseyn Umar  saat memberi keterangan dalam sidang uji materi UU AAPS di gedung MK, Selasa (21/4).

BANI mengingatkan istilah pembatalan (annulment) dan penolakan (refusal) putusan arbitrase internasional perlu dibedakan karena memiliki konsekwensi hukum berbeda. Pembatalan putusan berakibat dinafikannya putusan arbitrase seolah tidak pernah dibuat, sementara penolakan tidak berarti putusan arbitrase dinafikan. Penolakan ini juga tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yuridiksi pengadilan yang menolaknya. Ini diatur dalam Pasal 36 Konvensi New York.

“Dalam kasus ini, PN Jakarta Pusat tak berwenang membatalkan putusan arbitrase yang dijatuhkan Internatonal Cotton Association (ICA) di Inggris sebagai putusan arbitrase internasional,” tegas Husseyn di hadapan majelis yang diketuai Arief Hidayat.

Dengan begitu, tidak adanya batas waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional sama sekali tidak menghilangkan hak konstitusional pemohon sebagai pihak yang kalah. Sebab, kalau pemohon ingin membatalkan putusan arbitrase ini seharusnya melalui high court di Inggris sesuai syarat dan jangka waktu yang ditentukan, bukan di PN Jakarta Pusat.

“Putusan Arbitrase ICA final dan mengikat para pihak (pacta sunt servanda). Jika pemohon tak bersedia membayar ganti rugi secara sukarela yang ditetapkan Majelis Arbitrase di Liverpool. Jadi, wajar jika pihak lawan (OEL) bermaksud mengeksekusi putusan yang didaftar di PN Jakarta Pusat pada 5 Mei 2104 ini karena aset pemohon berada di Indonesia,” ungkapnya.

Meskipun demikian, BANI memandang PN Jakarta Pusat tetap memiliki hak menolak (refusal) pelaksanaan putusan arbitrase internasional, bukan membatalkan, apabila ditemukan putusannya bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Hal mengacu pada tafsir Pasal 4-5 UU AAPS.

Dia mencontohkan putusan PN Jakarta Pusat No. 86/PDT.G.2002/PN JKT PST yang pernah membatalkan putusan arbitrase yang dibuat di Genewa Swiss dalam perkara Pertamina melawan Karaha Bodas Company LLC (KBC). Upaya Pertamina membatalkan putusan ini kandas lantaran gagal membayar deposit yang disyaratkan Swiss Federal Supreme Court.

Di saat KBC berupaya mengeksekusi di pengadilan Swiss dan beberapa negara lain, Pertamina mengajukan pembatalan putusan arbitrase Geneva ini ke PN Jakarta Pusat. Meski sempat dibatalkan, tetapi akhirnya MA membatalkan putusan PN Jakpus itu melalui putusan kasasinya. “Jadi, sudah seharusnya MK menolak penghapusan Pasal 67 UU AAPS ini,” harapnya.

DPR memandang dalil pemohon yang menyatakan ketiadaan keharusan pemberitahuan PN Jakpus atas pendaftaran permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional tidak beralasan. Sebab, faktanya Kepaniteraan PN Jakpus justru telah memberitahukan adanya pendaftaran permohonan eksekusi.

Menurut DPR, ketentuan yang dipersoalkan telah sesuai dengan tata cara pelaksanaan putusan yang diatur dalam hukum acara perdata. “Sehingga mengenai jangka waktu pemberitahuan pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya persoalan teknis, bukan persoalan konstitusionalitas norma,” ujar Anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana.

Direktur PT Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito mempersoalkan Pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 UU Arbitrase dan APS. Menurut pemohon, Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase dan APS tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan arbitrase internasional, sehingga penyerahan putusan arbitrase internasional bisa didaftarkan kapanpun.Sebaliknya, tenggat waktu mengajukan pembatalan putusan arbitrase nasional atau internasional hanya dibatasi 30 hari setelah pendaftaran seperti diatur Pasal 71 UU Arbitrase.

Dalam perkara pemohon, tidak ada kejelasan kapan putusan arbitrase internasional akan didaftarkan. Belakangan diketahui putusan arbitrase internasional yang melibatkan pemohon baru didaftarkan ke PN Jakarta Pusat 1 tahun 5 bulan setelah diputuskan.
 
Terlebih, setelah adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional itu, kliennya baru diberitahu 3 bulan setelah didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Akibat kekosongan hukum ini berakibat pemohon selaku termohon eksekusi kehilangan hak mengajukan upaya hukum permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional ke PN Jakarta Pusat.


Pemohon meminta MK menghapus kedua pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Atau, Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Arbitrase dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: “Putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal Putusan Arbitrase dijatuhkan.” 

Pemohon juga meminta agar Pasal 71 UU Arbitrase konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi”.
Tags:

Berita Terkait