Ini 5 Alasan Kenapa RI Jangan Gentar Hukuman Mati
Utama

Ini 5 Alasan Kenapa RI Jangan Gentar Hukuman Mati

Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon dipersoalkan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Hukuman mati masih menjadi isu terhangat belakangan ini, apalagi pada momen-momen menjelang eksekusi. Diberitakan banyak media, pihak Kejaksaan RI terindikasi tengah bersiap melaksanakan eksekusi hukuman mati tahap dua. Indikasi itu muncul setelah beredar kabar terpidana mati Mary Jane dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.

Begitu kabar ini mencuat, sejumlah LSM dalam maupun luar negeri langsung menyuarakan resistensi. Tidak hanya LSM, pemerintah dari negara asal terpidana mati atau bahkan seorang Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon pun urun suara meminta Indonesia menghentikan penerapan hukuman mati.

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak perlu gentar dan khawatir untuk melaksanakan hukuman mati. Dia berharap tekanan yang datang dari sejumlah kalangan seharusnya tidak mengendurkan kebijakan hukuman mati.

Hikmahanto memberikan lima alasan kenapa pemerintah Indonesia jangan gentar melaksanakan hukuman mati. Pertama, Indonesia yang baru saja sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika yang secara historis pada penyelenggaraan pertamanya 60 tahun silam, pernah menelurkan Dasa Sila Bandung.

“Dalam Dasa Sila prinsip non intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat Indonesia akan melaksanakan hukuman mati,” papar Hikmahanto dalam siaran pers, Minggu (26/4).

Kedua, protes pemerintah Perancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati. Protes yang dilontarkan pemerintah kedua negara itu, kata Hikmahanto, adalah bentuk pertanggungjawaban mandat yang diberikan oleh rakyat mereka. Menurut Hikmahanto, sikap Perancis dan Australia tentu tidak dapat dicegah, termasuk ketika mereka memanggil duta besarnya untuk kembali dan berkonsultasi.

Hikmahanto memprediksi hubungan antara Indonesia dengan negara-negara yang protes akan kembali mencair setelah pelaksanaan hukum nanti. “Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan,” ujarnya.

Ketiga, kerap suara keras dari pemerintah negara lain terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia muncul karena sedang ada pertarungan politik di negara-negara tersebut. Isu hukuman mati di Indonesia, kata Hikmahanto, menjadi komoditas empuk. Hal seperti ini sangat disayangkan terjadi karena, menurut dia, kepentingan kepentingan Indonesia dikorbankan untuk ambisi politik para politisi negara lain.

Keempat, sikap pemerintah Australia yang protes atas pelaksanaan hukuman mati di Indonesia ternyata berbeda ketika Tiongkok mengeksekusi mati warga Australia. “Australia tidak melakukan tekanan seperti terhadap Indonesia,” imbuhnya membandingkan.

Kelima, pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia merupakan pernyataan di luar tugas dan fungsinya sebagai Sekjen. Ditegaskan Hikmahanto, Sekjen PBB bukanlah Presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah.

“Selanjutnya, adalah tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius,” katanya.

Hikmahanto mempertanyakan kenapa Sekjen PBB tidak bersuara ketika tenaga kerja Indonesia dihukum mati di Arab Saudi. Lalu, Hikmahanto menilai aneh jika Ban Ki Moon mempermasalahkan hukuman mati di Indonesia karena di negaranya sendiri, Korea Selatan, dikenal hukuman mati.

“Dari pernyataan Ban Ki Moon tidak heran bila Presiden Jokowi menyatakan PBB tidak merefleksikan kepentingan negara-negara Asia dan Afrika. Kepentingan dan suara yang dibawa adalah dari negara-negara di Eropa, Australia dan Amerika. Pantas bila Presiden Jokowi menggugat keuniversalan PBB,” paparnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah selalu mengikuti proses hukum sebaik-baiknya terkait eksekusi mati terpidana narkotika. Makanya, eksekusi hukuman mati terhadap warga negara Perancis masih menunggu upaya hukum yang tengah ditempuh terpidana.

Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali pemberian hukuman mati terhadap para terpidana yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua.

"Kami meminta pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan 'review' terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip 'fair trial'," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam siaran pers, Sabtu (25/4).

Menurut Supriyadi, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil, seperti yang terjadi pada Zainal Abidin, terpidana mati asal Indonesia, dan Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina.

ICJR juga mengingatkan pemerintah bahwa evaluasi hukuman mati bisa menaikkan posisi tawar Indonesia dalam usaha menyelamatkan para warga Tanah Air yang terancam hukuman mati di luar negeri. "Indonesia juga masih punya pekerjaan rumah dalam menyelesaikan persoalan TKI yang terancam pidana mati di luar negeri," tuturnya.
Tags:

Berita Terkait