Rekomendasi Komisi II DPR Beresiko
Sengketa Parpol:

Rekomendasi Komisi II DPR Beresiko

Independensi KPU akan sangat menentukan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam posisi terjepit. Hingga kini KPU belum selesai menyusun peraturan teknis pilkada serentak. Salah satunya regulasi tentang pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penyebabnya, ada perbedaan pandangan siapa yang harus diterima sebagai kandidat dari partai yang sedang bersengketa, dan apa batas ukurannya.

Komisi II DPR mengusulkan rujukannya pada putusan pengadilan. Namun jika menunggu hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap membutuhkan waktu yang tak sedikit. Ada tahapan-tahapan lewat Mahkamah Partai hingga ke Mahkamah Agung. Ada juga yang mengusulkan merujuk pada surat dari Menteri Hukum dan HAM. Tetapi ini pun rentan digugat sebagaimana yang terjadi pada Golkar dan PPP.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhani, melihat salah satu ketentuan dalam rancangan peraturan itu menyebut parpol yang mengusung pasangan calon harus melampirkan SK Kepengurusan Parpol dari Menkumham.

Faktanya, kasus ganda kepengurusan PPP dan Golkar belum selesai di pengadilan. Putusan pengadilan itu berpengaruh penting dalam menentukan kepengurusan parpol yang sah. Terkait sengketa kepengurusan parpol itu Komisi II DPR mengusulkan beberapa hal yakni agar KPU menggunakan putusan pengadilan yang terakhir walau sengketa itu masih berproses di pengadilan. Menurut Fadli, usulan yang dimaksud itu bukan putusan pengadilan berkekuatan tetap tapi putusan yang terakhir.

Menurut Fadli, usulan DPR itu dapat menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan Pilkada. Misalnya, proses peradilan yang menyidangkan sengketa kepengurusan parpol itu belum sampai pada putusan hukum berkekuatan tetap. Kemudian, putusan itu digunakan KPU sebagai acuan. Maka ketika ada pihak yang mengajukan upaya hukum dan menghasilkan putusan yang sebaliknya, maka memunculkan konflik.

Fadli menilai ketika pengadilan menerbitkan putusan berkekuatan hukum tetap maka Menkumham akan menindaklanjutinya dengan menerbitkan SK. SK itulah yang kemudian digunakan sebagai lampiran pasangan calon yang diusung parpol ketika mendaftar ke KPU. Fadli menilai rekomendasi DPR yang mendorong KPU agar mengacu putusan pengadilan yang terakhir tidak tepat.

Agar tidak terkendala dalam mendaftarkan calon yang diusung untuk ikut Pilkada 2015, Fadli mengusulkan agar parpol yang bersengketa meminta PTUN untuk mempercepat proses persidangan. Sehingga putusan berkekuatan hukum tetap dapat dihasilkan sebelum tahap pencalonan berakhir.

Bisa juga antar kubu yang bersengketa dalam parpol yang bersangkutan saling berdamai atau islah. Sehingga bisa membentuk kepengurusan baru dan mendaftarkannya ke Kemenkumham. Namun, ia menekankan agar itu jadi ranah parpol yang bersengketa.

Selain itu Fadli menekankan dalam menyikapi sengketa kepengurusan parpol ini KPU harus independen. "KPU jangan berpihak pada salah satu kubu yang bersengketa, harus menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan SK Menkumham (terkait kepengurusan parpol yang sah,-red)," katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (27/4).

Ketua Perludem, Didik Supriyadi, menegaskan agar KPU harus menjaga independensinya. Serta memegang teguh amanat UU dalam menerbitkan peraturan pelaksana Pilkada 2015. Rekomendasi yang disodorkan DPR terhadap KPU menurut Didik tidak harus dipatuhi. Karena itu merupakan forum konsultasi sebagaimana amanat UU tapi tidak mewajibkan KPU melaksanakannya.

Soal pencalonan pasangan calon oleh parpol yang bersengketa kepengurusan, Didik mengatakan acuannya harus putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan SK Menkumham. Jika kedua hal itu belum dimiliki parpol yang kepengurusannya mengalami sengketa saat tahap pencalonan habis maka parpol tersebut tidak bisa mendaftarkan calonnya untuk ikut Pilkada 2015. "Itu akan memaksa parpol untuk islah," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan kesepakatan, rekomendasi atau kesimpulan yang dihasilkan Komisi di DPR dengan mitra kerjanya itu sifatnya mengikat. Itu biasanya dihasilkan dalam rapat kerja atau rapat dengar pendapat (RDP) sebagaimana disebut UU MD3.

Namun, rekomendasi Komisi II DPR kepada KPU bukan dihasilkan dari rapat kerja atau RDP, tapi rapat konsultasi dengan KPU. Arsul melihat rapat konsultasi itu tidak menghasilkan kesepakatan apapun karena KPU keberatan. Jika mitra kerjanya tidak sepakat dengan rekomendasi yang diusulkan maka mengacu UU MD3 rekomendasi itu tidak mengikat. "Yang mengikat itu kalau kesepakatan dibuat dan mitra kerjanya setuju," urainya.

Soal pencalonan pasangan calon oleh parpol yang kepengurusannya bersengketa Arsul mengatakan harus mengacu pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal itu sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 5 Tahun 1986 – dan perubahannya-- tentang PTUN. Kedua regulasi itu tegas menyebut yang menjadi acuan adalah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, rancangan PKPU tentang pencalonan harus selaras dengan regulasi tersebut.

"Itu yang harus dipahami KPU, tidak mungkin sebuah peraturan KPU menabrak ketentuan hukum yang tingkatnya jauh lebih tinggi," tukas Arsul.
Tags:

Berita Terkait