RUU Minuman Beralkohol Ubah ‘Rezim Rimba’ Menjadi Bermartabat
Berita

RUU Minuman Beralkohol Ubah ‘Rezim Rimba’ Menjadi Bermartabat

Bagi sebagian kalangan, RUU Larangan Minol berdampak pada pendapatan negara dan sektor ketenagakerjaan dan pariwisata.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)
Keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) tak lepas dari peran Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) selaku pengusul. RUU Larangan Minol masuk dalam Prolegnas prioritas 2015 dengan nomor urut 21. Bagi sebagian kalangan, RUU Larangan Minol berdampak pada pendapatan negara dan sektor ketenagakerjaan dan pariwisata.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan RUU Larangan Minol tak saja mengatur Minol hasil industri, tetapi juga oplosan. Kendati demikian, RUU Larangan Minuman memberikan pengecualian terbatas. Misalnya pada kepentingan adat, ritual, wisatawan, dan farmasi. “Jadi meskipun larangan, bukan berarti meniadakan Minol di negara kita,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (28/4).

Pandangan Arsul menampik kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pelarangan penuh terhadap Minol. Memang bagi sebagian daerah masih menggunakan Minol sebagai ritual adat. Namun demikian, dengan adanya pelarangan Minol nantinya pembelian Minol di tempat tertentu mesti menunjukan idetitas dan usia agar lebih terkontrol seperti halnya di kebanyakan negara.

Inggris misalnya, kata Arsul. Negeri Britania Raya itu terbilang ketat dalam penjualan Minol terhadap masyarakat. Hanya remaja yang sudah memasuki batas usia tertentu yangg dapat membeli Minol. Negara eropa yang terbilang bebas pun telah memiliki regulasi terkait pembatasan konsumsi Minol. “Tetapi di Indonesia belum ada yang levelnya dalam bentuk UU,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menilai dengan adanya regulasi Larangan Minol, setidaknya memberikan batasan tertentu terhadap peredaran Minol. Pasalnya, maraknya konsumen Minol saat ini adalah remaja. Munculnya mini market di berbagai tempat yang menjual Minol berdampak remaja mudah mendapatkan minuman memabukan. Harusnya, penjualan Minol dilakukan secara ketat.

“Jadi kita ingin mengatur rezim rimba dalam Minol menjadi rezim bermartabat. Nanti juga diatur memproduksi, tapi seperti apa dan bagaimana, ini akan menjadi menarik pokok pembahasan,” ujarnya.

RUU yang kini masuk dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi itu masih berbentuk kasar. Menurut Arsul, kajian dalam naskah akademik belum memperhitungkan aspek ekonomis dan industri terkait dengan RUU tersebut. Makanya, dalam pembahasan nantinya bakal meminta masukan dari berbagai stakeholder. “FPPP siap mendiskusikannya,” ujar anggota Baleg itu.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengatakan telah melakukan kajian terhadap konsumen Minol. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2007, sedikitnya angka remaja yang mengkonsumsi Minol sebesar 4,9 persen. Ironisnya, tujuh tahun kemudian meningkat 23 persen. “Atau sekitar 14,4  juta dari 63 juta,” ujarnya.

Senator asal DKI Jakarta itu menilai pemerintah telah lalai terhadap persoalan Minol. Berbeda halnya dengan narkotika, pemerintah telah memiliki regulasi. Jika saja pemerintah memiliki regulasi setingkat UU, setidaknya mampu mencegah maraknya remaja usia muda mengkonsumsi Minol.

Fahira yang menjabat Ketua Gerakan Anti Minuman Keras (Genam) itu berharap dalam pembahasan RUU Larangan Minol nantinya menuangkan kewajiban pemerintah mensosialisasikan bahaya Minol. Setidaknya, RUU tersebut setelah disahkan menjadi UU nantinya mampu diterapkan di tengah masyarakat. “Menurut saya harus dilakukan sekarang. Indonesia secepatnya punya regulasi, kalau tidak, tak akan penah tuntas masalah ini,” katanya.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni'am Sholeh, menilai pemerintah sudah mengakommodir dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minumal Beralkohol. Pasalnya Minol terlampau mudah didapat remaja di mini market.

Dengan adanya gagasan pembentukan RUU Larangan Minol, Asrorun menyambut baik. Malahan dengan adanya RUU menjadi upaya rekayasan sosial terhadap perilaku tidak baik menjadi baik. “Menjadi masalah kita membiarkan yang salah menjadi salah di masyarakat. Makanya perlu aturan dan tertib hukum,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait