MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan
Utama

MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan

Putusan ini mengingatkan penyidik agar sangat berhati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Maqdir Ismail dan Dasril Affandi selaku kuasa hukum pemohon saling berjabat tangan seusai mendengarkan amar putusan dalam perkara pengujian KUHAP, Selasa (28/4). Foto: Humas MK
Maqdir Ismail dan Dasril Affandi selaku kuasa hukum pemohon saling berjabat tangan seusai mendengarkan amar putusan dalam perkara pengujian KUHAP, Selasa (28/4). Foto: Humas MK
Polemik penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan akhirnya terjawab lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang menjadi polemik terutama pasca putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) oleh KPK.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

“Menolak permohonan untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Selasa (28/4).

Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan.

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Sementara dalam pranata praperadilan, meski dibatasi secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik yang termasuk perampasan hak asasi seseorang.  Memang Pasal 1 angka 2 KUHAP kalau diterapkan secara benar tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun, bagaimana kalau ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka?

“Sehingga sudah seharusnya penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan yang dapat dimintakan perlindungan melalui pranata praperadilan,” lanjut Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Demikian pula, dalam putusan MK bernomor 65 /PUU-IX/2011 yang menghapus keberadaan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan putusan itu, disebutkan sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik/penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.

“Secara implisit, Mahkamah sesungguhnya telah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan penyitaan bagian mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik/penuntut umum. Karenanya, keduanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan,” tegasnya.

Meski begitu, putusan ini tidak diambil secara bulat karena diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dan occurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 hakim konstitusi, 3 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion yakni I Gede Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi yang mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.

Objek praperadilan konstitusional
I Dewa Gede Palguna menganggap tidak masuknya penetapan tersangka dalam lingkup praperadilan ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Salah satu alasannya,  KUHAP menganut due process model. Di negara-negara yang menganut due process model, konstruksi pemikiran memasukkan penetapan tersangka sebagai bagian dari ruang lingkup praperadilan juga tertolak.

“Tidak dimasukkannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan tidak dapat dipersalahkan menurut hukum internasional  (internationally wrongful act)  yang dapat dijadikan dasar menuntut adanya tanggung jawab negara (state responsibility). Substansi Pasal 77 KUHAP sesungguhnya identik dengan Pasal 9 ICCPR, sehingga Indonesia hakikatnya telah mengatur substansi perlindungan terhadap hak asasi manusia,” dalihnya.

Hakim Konstitusi Muhammad Alim berpendapat penetapan tersangka sebetulnya bukanlah kewenangan praperadilan asal prosedur yang ditetapkan oleh hukum acara pidana dilaksanakan dengan baik. Apabila dalam kasus konkret penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, misalnya secara subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan bukti, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan MK. “Hal semacam itu merupakan penerapan hukum merupakan kewenangan institusi lain, bukan kewenangan MK."

Hakim Aswanto berpandangan memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan bukanlah persoalan penafsiran. Sebab, tidak ada kata atau frasa dalam Pasal 77 huruf a KUHAP yang dapat dimaknai sebagai penetapan tersangka atau termasuk penetapan tersangka. “Ketentuan a quo sudah sangat jelas mengatur apa saja yang dapat diuji di forum praperadilan."

Dengan begitu, menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak ada dalam KUHAP adalah membuat norma baru yang bukan kewenangan MK, melainkan kewenangan pembentuk undang‑undang. Karena itu, tidak diaturnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP tidak menjadikan ketentuan tersebut inkonstitusional.

“Apabila penetapan tersangka dipandang dapat lebih menghormati dan menjaga hak asasi tersangka, maka gagasan demikian dapat saja dimasukkan dalam ketentuan undang-undang oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan kewenangannya.”

Usai persidangan, kuasa hukum pemohon Maqdir Ismail mengatakan kini penetapan tersangka dapat diuji dalam forum sidang praperadilan. Menurutnya, putusan ini membuktikan apa yang selama ini terjadi dalam proses praperadilan dilakukan sebagai pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyidik. Inti putusan yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah untuk memberikan perlindungan HAM.

“Putusan ini untuk kepentingan orang banyak. Bachtiar hanya jadi sarana dalam mencoba akhiri polemik. Ini juga untuk mengingatkan penyidik dari awal, mereka harus sangat berhati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka, tidak boleh sekenanya karena disitu potensi dilanggarnya HAM yang dapat diajukan praperadilan,” kata Maqdir mengingatkan.
Tags:

Berita Terkait