“Swasta boleh terlibat dalam penyediaan air minum yang menguasai hajat hidup orang banyak, tapi swastanya tidak disebutkan dari mana dan modalnya dari mana,” kata Rachmat dalam acara diskusi yang digelar hukumonline dengan tema “Kesiapan Pelaku Usaha dan Pemerintah Pasca Dibatalkannya UU Sumber Daya Air” di Jakarta, Selasa (28/4).
Atas dasar itu, lanjut Rachmat, penanaman modal oleh asing untuk perusahaan pengguna air masih berlaku. Menurutnya, jika modal asing ditutup bukan hanya perusahaan air minum dalam kemasan yang terkena dampaknya, tapi seluruh perusahaan yang menggunakan air sebagai media atau bahan baku juga akan ikut terpengaruh.
“Putusan MK tidak sebutkan apapun modal dalam negeri atau luar negeri. Saya tidak bisa terima kalau swasta asing tidak boleh mengusahakan air, mohon klausul seperti itu (dalam RPP, red) dihilangkan,” kata Rachmat.
“Apabila semua pembatasan tersebut terpenuhi dan masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan memberi izin pada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangannya.
Hal sama juga diutarakan Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CPRG), Mohamad Mova Al’Afghani. Menurutnya, putusan MK tidak melarang swasta untuk pengelolaan air. Putusan MK juga tidak membedakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.
“MK preferensi kepada BUMN atau BUMD, tapi dengan hal ini apakah dapat melanggar treaty Indonesia dengan luar terkait investasi. BUMN/BUMD adalah legal person tersendiri, dapat dikategorikan sebagai corporate dan tidak mengikat ke negara sepenuhnya, dan kontrol negara juga belum tentu penuh atas BUMN/BUMD ini,” tutur Mova.
Terkait dampak perizinan, lanjut Mova, ada dua isu yang bisa dipantau oleh regulator. Pertama bagi perusahaan yang sudah memperoleh izin. Kepada perusahaan tersebut perlu atau tidak dilakukan evaluasi dan disesuaikan dengan enam prinsip dasar pengelolaan air dari putusan MK. Sedangkan isu yang kedua, adalah izin yang akan diberikan kepada perusahaan. Terkait hal ini, penting diterapkan enam prinsip dasar tersebut.
Kepala Subdit Pengaturan Direktorat Bina PSDA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sigid HD Pramana menyambut baik usulan yang dilontarkan sejumlah pihak. Menurut dia, penolakan larangan asing dalam mengelola air bisa menjadi masukan Kementerian dalam menyusun dan membahas RPP SDA.
“Semua masukan akan diakomodir, tinggal dinamika pembahasan, argumen yang kuat seperti apa, logikanya masuk atau tidak, dasar hukumnya jelas atau tidak,” ujar Sigid.
Salah satu yang menentang adalah Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Pengguna Air (FKLAPA). Perwakilan dari FKLAPA, Rachmat Hidayat mengatakan, dampak terbesar dari putusan MK adalah pengaturan mengenai izin penggunaan air.