Dinilai Tak Demokratis, UU Pilkada Kembali Digugat ke MK
Berita

Dinilai Tak Demokratis, UU Pilkada Kembali Digugat ke MK

Majelis mempertanyakan legal standing dan petitum permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Dinilai Tak Demokratis, UU Pilkada Kembali Digugat ke MK
Hukumonline
      Para pemohon merasa berlakunya pasal-pasal tersebut       “Ketentuan ini menyebabkan maraknya praktik politik uang dan penyalahgunaan jabatan untuk memenangkan pasangan calon tersebut tanpa khawatir adanya sanksi. Penegakan hukum pilkada menjadi mandul seolah orang bebas membagi-bagikan uang,” papar Heriyanto dalam persidangan.  

Selain itu, dalam Pasal 70 ayat (5) potensial tidak terlaksananya asas equality before the law karena adanya perlakuan berbeda dalam hal pemberitahuan cuti izin berkampanye. Soalnya, hanya mewajibkan gubernur, bupati, dan walikota saja, tetapi tidak memberi kewajiban kepada wakilnya memberitahukan izin cuti kampanye kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu, ditemukan adanya pertentangan antar pasal, seperti terdapat antara Pasal 20 huruf h dengan Pasal 58 ayat (7), antara Pasal 98 ayat (11) dengan Pasal 193 ayat (2) dan Pasal 196. Demikian pula antarpasal mengenai pengaturan kampanye. “Adan tumpang tindih pengaturan sanksi pidana dalam Pasal 193 ayat (2) dengan pengaturan sanksi pidana dalam Pasal 196 UU Pilkada ini,” ungkapnya.  

Karena itu, para pemohon meminta membatalkan materi muatan UU Pilkada karena bertentangan dengan konstitusi ketika diimplementasikan. Atau, sebagian pasal dibatalkan dan atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 63 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional).

Menanggapi permohonan, I Gede Palguna mempertanyakan legal standing para pemohon. Sebab, dalam permohonan belum tergambar hubungan kausalitas antara hak konstitusional yang dilanggar (kerugian yang dialami) dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. Kalau permohonan ini dikabulkan kerugiannya tidak akan terjadi lagi. “Ini yang belum tampak betul dalam permohonan ini, ini penting diperhatikan,” kritik Palguna.

Dia pun meminta pemohon memperjelas petitum permohonan terutama pernyataan inkonstitusional bersyarat. “Permintaan bersyaratnya apa? Yang mau dikondisionalkan yang mananya, sepanjang mau diartikan apa? Apa yang Anda maksud? Ini perlu0 diperjelas satu per satu petitumnya,” sarannya.

Anggota Panel Wahiduddin Adams juga mengkritik permohonan yang menyatakan UU Pilkada cacat formil. Sementara argumentasi cacat formil ini belum diuraikan secara jelas dalam permohonan.

“Cacat formil ini belum dielaborasi lebih jauh, memang ada pasal-pasal yang tidak pernah disetujui dalam rapat paripurna, ini perlu dielaborasi lagi,” pintanya.          
Uji formil dan materil atas UU Nomor 8 Tahun 2015tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) kembali digugat ke MK. Kini, pemohonnya, Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah yang merasa potensial dirugikan dengan berlakunya sebagian besar pasal dalam UU Pilkada itu.

Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 7 huruf f, Pasal 22B huruf d, Pasal 40 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), (5), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (4), Pasal 58 ayat (7), Pasal 63 ayat (2), Pasal 70 ayat (2), Pasal 75 ayat (5), Pasal 138, Pasal 158, dan Pasal 193 ayat (2) UU Pilkada.

sangat kecilnya kesempatan untuk menduduki kursi gubernur, bupati atau walikota karena adanya dominasi politik dari pemilik modal atau pemilik kekuasaan. Selain pembentukannya cacat formil, materi muatan pasal-pasal tersebut dinilai tidak demokratis.

“UU No. 8 Tahun 2015 ini cacat formil karena tidak pernah dibahas dan disetujui dalam rapat paripurna DPR dan tidak demokratis karena tidak memperbaiki cacat materil dalam UU No. 1 Tahun 2015,” ujar salah satu pemohon, Heriyanto dalam sidang pendahuluan yang diketuai I Dewa Gede Palguna di ruang sidang MK, Kamis (30/4). Palguna didampingi Wahiduddin Adams dan Manahan Sitompul sebagai anggota majelis panel.  

Heriyanto memaparkan secara umum ada beberapa cacat materil dalam UU No. 8 Tahun 2015 yang tidak demokratis. Pertama, tidak memuat sanksi (administratif/diskualifikasi) bagi pelaku politik uang khususnya yang dilakukan pengurus partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Kedua, tidak memuat sanksi pidana terhadap penyalahgunaan jabatan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Ketiga, tidak transparannya penggunaan dana kampanye dari sumber terlarang yang berakibat para pemohon bisa kalah bersaing dengan pemilik modal besar dan pemilik kekuasaan.        



Dia melanjutkan UU Pilkada ini dapat menghilangkan hak partai politik yang tidak mendapatkan kursi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 di DPRD untuk mengusung pasangan calon tertentu. Pasal 70 ayat (2) juga tak tegas batasan pejabat negara yang dilarang berkampanye dan batasan mengenai frasa “tidak memiliki konflik dengan petahana”.  
Halaman Selanjutnya:
Tags: