Komnas HAM Cermati RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas
Berita

Komnas HAM Cermati RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas

Substansinya berpotensi membatasi kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat dan kebebasan pers.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP
Wakil Ketua Komnas HAM, Roichatul Aswidah, menilai ada sejumlah RUU dalam Prolegnas 2015-2019 yang patut dicermati. Misalnya RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Ia menilai kedua RUU itu berpotensi memundurkan perkembangan demokrasi dan HAM di Indonesia. Sebab, ketentuan yang ada dalam kedua RUU itu dapat membatasi kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat dan kebebasan pers.

“Ada dua RUU yang harus dicermati yaitu RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional,” kata perempuan yang disapa Roi itu dalam diskusi yang digelar Imparsial di kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (4/5).

Roi mengatakan pasca reformasi, demokrasi mulai berkembang, ditandai kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat dan kebebasan pers. Hak asasi itu diperkuat konstitusi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah. Intinya secara hukum, Indonesia punya perlindungan yang cukup dalam perlindungan kebebasan berekspresi dan informasi publik.

Salah satu kemajuan yang diperoleh setelah runtuhnya Orde Baru adalah  kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi publik. Pada dasarnya, semua informasi harus bisa diakses. Sekalipun ada pengecualian, harus dilakukan dengan ketat, defenisinya tidak boleh multitafsir atau luas. Sayangnya, dalam RUU Rahasia Negara dan Kamnas, defenisi yang termaktub sangat longgar sehingga dapat diartikan luas.

Bukan berarti hak berekspresi dan mengakses informasi tidak bisa dibatasi. Tetapi pembatasan itu, ta Roi, tidak boleh eksessif dan sewenang-wenang. Pembatasan tunduk pada undang-undang. Karena itu, Roi mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama, misalnya melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak perlu dengan dalih demi keamanan nasional.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengaku terkejut karena RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas masuk prolegnas. Padahal, ketika kedua RUU itu bergulir sejak pemerintahan SBY, PDIP jadi salah satu partai politik yang keras menolak. Kini PDIP sebagai partai pemegang suara terbanyak di Parlemen diduga ikut mendorong RUU Kamnas.

Al mengatakan urgensi RUU Rahasia Negara harus dipertanyakan karena konstitusi memposisikan hak atas informasi sebagai bagian dari HAM. Konstitusi juga tidak mengamanatkan pemerintah untuk mengatur rahasia negara. Menurut dia, RUU Rahasia Negara tidak diperlukan karena pembatasan sudah tepat diatur dalam pasal 17 UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). “Informasi yang dikecualikan itu sudah tepat diatur dalam UU KIP, tidak perlu diatur secara khusus dalam UU tersendiri,” tukasnya.

Roi dan Al menilai ketentuan dalam RUU Rahasia Negara sangat luas. Sehingga mengancam kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, akses informasi dan pers. Apalagi dalam RUU Rahasia Negara ada sanksi bagi masyarakat yang dianggap membocorkan rahasia negara. Padahal, yang harusnya disasar sanksi itu adalah aparat negara yang membocorkan rahasia negara, bukan masyarakat yang memperoleh informasi itu. Persoalan lainnya, dalam RUU Rahasia Negara tidak ada mekanisme komplain.

Begitu pula dengan RUU Kamnas, Al menilai regulasi itu tidak diperlukan karena sudah ada peraturan yang mengatur tentang kemanan nasional, seperti UU TNI, UU Intelijen dan UU Polri. Jika alasannya sebagai dasar hukum dibentuknya Dewan Keamanan Nasional, itu bisa dilakukan tanpa menerbitkan RUU Kamnas. Kewenangan Presiden dinilai cukup untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional.

Al juga menilai Dewan Keamanan Nasional tidak dibutuhkan Indonesia karena sudah ada Menkopolhukam. Jika menginginkan Dewan Keamanan Nasional dibentuk maka Menkopolhukam harus dibubarkan. “Intinya RUU Kamnas tidak urgen untuk dibahas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait