Dipersoalkan, Hak Publikasi Pemerintah atas Hak Cipta
Berita

Dipersoalkan, Hak Publikasi Pemerintah atas Hak Cipta

Pemohon diminta membangun argumentasi alasan pengujian ini lebih jelas agar potensi kerugian konstitusionalnya juga lebih nyata.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Bernard Samoel Sumarauw usai mengikuti sidang perdana uji materi UU Hak Cipta, Selasa (5/5). Foto: Humas MK
Pemohon Bernard Samoel Sumarauw usai mengikuti sidang perdana uji materi UU Hak Cipta, Selasa (5/5). Foto: Humas MK
Demi kepentingan nasional, pemerintah melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diberikan kelonggaran menggunakan dan mendistribusikan ciptaan seseorang tanpa izin dari pemegang hak cipta. Namun, aturan tersebut dinilai merugikan pemegang hak cipta karena tidak bisa menuntut maupun menggunakan secara leluasa ciptaan yang digunakan pemerintah itu.

Orang yang menilai kebijakan pemerintah itu merugikan adalah Bernard Samuel Sumarauw. Sebagai pemegang hak cipta, Bernard akhirnya memohonkan pengujian Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“UU itu menyatakan pemerintah untuk kepentingan nasional tidak perlu minta izin, tetapi seharusnya setiap ciptaan yang dibuat dan mendapatkan pengesahan harus mendapatkan izin pencipta termasuk untuk kepentingan nasional,” tutur Bernard saat sidang pendahuluan yang diketuai Aswanto di ruang sidang MK, Selasa (5/5).

Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan, “Pemerintah dapat menyelenggarakan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi dan/ atau sarana lain untuk kepentingan nasional tanpa izin dari Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan kepada Pemegang Hak Cipta.”

Bernard mengungkapkan ciptaan yang telah digunakan pemerintah tanpa izin berkaitan dengan program jaminan sosial. Bernard mengklaim program jaminan sosial yang digunakan pemerintah adalah Hak Cipta yang dia buat pada 1990 dan telah didaftarkan pada Direktoral Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Namun, pada tahun 1992, pemerintah justru menerbitkan UU Jaminan Sosial tenaga Kerja.

“Program itu sama dengan program saya, sehingga mau tidak mau saya tidak bisa melakukan program itu karena adanya UU itu,” ungkapnya.

Sementara, apabila dirinya ingin mengajukan ke Pengadilan Niaga guna membuktikan keabsahan hak cipta atas program jaminan sosial itu, terbentur dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta. “Pasal itu disebutkan pemerintah tidak perlu izin, jadi tidak bisa (ajukan) karena terbentur ketentuan itu (Pasal 51 ayat 1),” tukasnya.

Tak hanya itu, kebijakan pemerintah yang hanya memberikan imbalan bagi pencipta dirasa tidak rasional dan tidak adil. Sikap tersebut justru menunjukkan arogansi pemerintah dengan melanggar hak ekslusif ciptaan seseorang hanya dengan imbalan.Imbalan itu justru dapat dikonotasikan dengan “suap atau gratifikasi” yang merupakan delik pidana. Untuk itu, dirinya meminta MK untuk membatalkan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta itu.

Namun, MK justru mengkritisi permintaan Bernard agar ketentuan Pasal 51 ayat (1) dibatalkan. “Kalau pasal ini dihapus lalu bagaimana kalau negara benar-benar membutuhkan untuk kepentingan orang banyak? Jadi hak pemerintah akan terhalang kalau tidak dilindungi pasal ini,” ujar Anggota Majelis Suhartoyo.

Karena itu, Suhartoyo menyarankan agar ketentuan pasal tersebut bukan dibatalkan, melainkan diberikan makna secara konstitusional bersyarat. “Jangan dikatakan tidak berlaku, cari win-win solution disitu,” pintanya.

Selain itu, pemohon diminta membangun argumentasi alasan pengujian ini lebih jelas agar potensi kerugian konstitusionalnya juga lebih nyata.
Tags:

Berita Terkait