Pro Kontra ‘Jihad Konstitusi’
Jihad Konstitusi

Pro Kontra ‘Jihad Konstitusi’

Tercapainya tujuan konstitusi jadi alasan yang tak bisa diperdebatkan, asal tak ada kepentingan yang menunggangi.

Oleh:
FAT/RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Organisasi kemasyarakatan Islam, Muhammadiyah dan sekelompok masyarakat yang menempuh jalan jihad konstitusi menjadi fenomena baru dalam dunia hukum Indonesia. Betapa tidak, cara jihad konstitusi yang mengajukan uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuahkan hasil positif.

Sebut saja dua upaya yang telah membuahkan hasil. Pertama, melalui pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) yang akhirnya berbuah 'pembubaran' BP Migas tiga tahun lalu. Teranyar, jihad konstitusi berhasil 'membatalkan' UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) beberapa waktu lalu.

Berikutnya, terdapat tiga UU yang telah didaftarkan untuk diuji di MK yakni UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan dan UU Lalu Lintas Devisa. Salah satu pemohon yang tergabung dalam jihad konstitusi, Marwan Batubara menegaskan uji materi dilakukan semata-mata untuk meluruskan UU tersebut sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945, yakni dengan mengedepankan peran negara dalam pengelolaan sumber daya yang akhirnya mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

"Ini negara kita, kita salah satu dari sekian juta mewakili penduduk di Indonesia, dan kita perjuangkan kepentingan Indonesia yang diamanatkan konstitusi," katanya kepada hukumonline, Rabu (6/5).

Pembubuhan kata ‘jihad’ bukan tanpa alasan. Menurut Marwan, jihad dalam bentuk fisik sudah sering dilakukan Muhammadiyah dengan membangun sekolah dan rumah sakit. Sedangkan uji materi yang dilakukan juga masih dianggap jihad sepanjang meluruskan persoalan yang selama ini bertentangan dengan konstitusi.

"Tidak melulu perjuangan membangun, tapi bicara ideologi dan bicara amar ma’ruf nahi munkar. Jadi supaya lengkap," kata Marwan.

Ia mencontohkan keberhasilan jihad konstitusi dalam menguji UU Migas. Menurut Marwan, pengelolaan migas selama ini menurut konstitusi harus dilakukan oleh BUMN. Tapi kenyataannya tidak. Ia mengatakan, mengedepankan negara dalam pengelolaan sumber daya juga memiliki dampak yang baik bagi masyarakat. Dengan meningkatkan peran negara, BUMN sebagai pengelola akan membayar pajak dan sebagian keuntungan yang diperoleh akan dikembalikan ke negara berupa dividen dan nantinya didistribusikan kembali ke rakyat.

Sebaliknya, jika swasta atau asing yang mengelola migas maka hanya memiliki kewajiban untuk membayar pajak, sehingga pendapatan negara kurang maksimal. Sedangkan keuntungan dari pengelolaan dimiliki untuk mereka sendiri. "Jadi itu menjadi alasan juga, jadi banyak alasan dan bukan mencari-cari, tapi saya bicara fakta," kata Marwan.

Meski begitu, konstitusi tidak melarang adanya investasi asing dalam mengelola sumber daya. Hanya saja, peran asing tidak bisa menggeser peran negara dalam mengelola sumber daya. Dia mengakui asing masih diperlukan karena masih adanya keterbatasan dana di Indonesia. Namun, asing bisa masuk jika konstitusi memberikan peluang dan kesempatan.

"Silakan kita undang asing tapi sesuai aturan main konstitusinya," katanya.

Jalan judicial review, lanjut Marwan, merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh setiap warga negara. Atas dasar itu pula, jihad konstitusi terus konsisten meluruskan UU terhadap UUD 1945. Satu hal yang perlu dilakukan setelah MK membatalkan UU yang dinilai tak sejalan dengan konstitusi, yaitu mengawal pengelolaan sumber daya oleh negara dengan tujuan mensejahterakan rakyat.

"Dan ini bicara konsistensi pemerintah dan DPR," katanya.

Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Pengguna Air (FKLAPA), Rachmat Hidayat, menghormati cara yang ditempuh Muhammadiyah dan sejumlah tokoh dalam judicial review UU ke MK. Namun, ia berharap upaya tersebut tak memiliki hidden agenda atau ada yang 'menunggangi'.

"Boleh saja, wajar saja dalam koridor hukum, yang kami harapkan dan yang kami pandang sebagai industri adalah lakukan itu benar-benar dalam koridor hukum, jangan ada tumpang-tumpangan, tunggang-tunggangan kepentingan tertentu mengatasnamakan itu," tutur Rachmat.

Kecurigaan adanya kepentingan tertentu dilihat Rachmat dari efek pembatalan UU SDA oleh MK beberapa waktu lalu. Menurutnya, dari pembatalan tersebut, MK mengamanatkan untuk membuat aturan baru. Pemerintah meresponnya dengan menyusun RPP mengenai Pengusahaan SDA. Dari draf RPP terakhir yang diperolehnya, dinyatakan bahwa pemodal luar negeri tidak boleh mengusahakan SDA di Indonesia.

Terkait hal ini, FKLAPA telah memberikan masukan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selaku pihak menyusun RPP. "Bahwa tidak ada urusan apakah modalnya dari dalam negeri atau luar negeri. Karena MK sendiri menggarisbawahi ada hak rakyat atas air. Kalau hak rakyat atas air artinya ada pengambilan yang membuat rakyat tidak kebagian air, berarti pengambilannya yang harus diatur, bukannya airnya untuk apa. Berarti ada yang tidak benar ini, kenapa bisa begini drafnya," katanya.

Ia mengatakan, cara Muhammadiyah dan sejumlah tokoh yang ingin meluruskan arah berbangsa kembali ke konstitusi patut diapresiasi. Sebagai pelaku usaha, pihaknya akan mengikuti seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini pula yang menjadi landasan pelaku usaha dalam setiap menjalankan bisnis di Indonesia.

"Jadi, kita bergerak dengan cara kita yang intinya adalah sama-sama mencapai cita-cita negara, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan ketertiban dunia. Jadi, kami berharap jangan sampai gerakan seperti ini ditujukan untuk tujuan yang lain," tutup Rachmat.
Tags:

Berita Terkait