Ahli: Pemeriksaan HUM Hanya Bersifat Administratif
Berita

Ahli: Pemeriksaan HUM Hanya Bersifat Administratif

Ahli berharap ijtihad para hakim konstitusi untuk mengisi kekosongan hukum dari ketentuan yang diujikan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Peneliti PSHK M Nur Sholikin (berdiri) dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU MA di Gedung MK, Kamis (7/5). Foto: Humas MK
Peneliti PSHK M Nur Sholikin (berdiri) dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU MA di Gedung MK, Kamis (7/5). Foto: Humas MK
        Direktur Riset dan Reformasi Kelembagaan PSHK ini melanjutkan para pihak tidak dipertemukan untuk menyampaikan argumentasinya dan kesempatan mengajukan ahli/saksi untuk meyakinkan majelis. Mengingat materi peraturan perundang-undangan yang diuji beragam, sebenarnya majelis membutuhkan keterangan ahli/pakar bidang tertentu.   “Pertimbangan hakim bisa saja lemah karena kurangnya infomasi (dari ahli) terkait materi peraturan perundang-undangan yang diujikan,” ujar ahli yang dihadirkan pemohon ini.
Dia mengkritik selama ini proses pemeriksaan HUM dilaksanakan secara tertutup, padahal objek peraturan perundangan yang diujikan seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, mengatur dan mengikat secara umum. Terlebih, prinsip keterbukaan sidang pengadilan ini sudah tegas diatur dalam Pasal 13 tentang Kekuasaan Kehakiman, kecuali undang-undang menentukan lain.     

“Proses pembentukan peraturan saat ini sudah lebih transparan dan partisipatif, seharusnya proses pengujiannya pun transparan dengan melibatkan pihak berkepentingan. Proses pemeriksaan tertutup potensial menimbulkan ketidakpastian hukum,” kritiknya.

Ahli pemohon lainnya, Dosen FH Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, M. Rifqinizamy Karsayuda menilai argumentasi pemohon yang menghendaki sidang HUM terbuka dengan menguji Pasal 31A ayat (4) UU MA tidak terlalu tepat. Sebab, ketentuan itu tidak mengatur sifat terbuka atau tertutupnya sidang HUM, hanya mengatur batas waktu 14 hari proses pemeriksaan HUM.

Meski begitu, urgensi keterbukaan beracara dalam sidang HUM dengan melibatkan pihak berkepentingan patut dipertimbangkan agar proses persidangan lebih fair, sehat, dan berkeadilan. Sebab, secara normatif tidak ada aturan yang jelas tentang sifat tertutup atau terbukanya mekanisme pemeriksaan HUM di MA termasuk Perma No. 1 Tahun 2011 sekalipun.

“Seperti hal MK, aturan sidang terbuka untuk umum uji materi di MA adalah sesuatu yang urgent di masa mendatang. Bagi kami disinilah dibutuhkan ijtihad para hakim konstitusi untuk mengisi kekosongan hukum dari ketentuan yang diujikan,” harapnya.      

Untuk diketahui, sejumlah buruh yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, dan Solihin mempersoalkan Pasal 31A ayat (4) huruf h UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA terkait aturan proses permohonan uji materi di MA yang faktanya terkesan bersifat tertutup untuk umum.

Mereka menilai, tertutupnya proses pemeriksaan uji materi peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang ini mengikis atau mengurangi akuntabilitas hakim agung yang memeriksa dan mengadili permohonan ini. Karenanya, mereka meminta  proses pemeriksaan dan pembacaan putusan uji materi dilakuan secara terbuka untuk umum mengingat peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian berdampak pada masyarakat luas (erga omnes).
Peraturan perundang-undangan terkait kewenangan hak uji materiil (HUM) di Mahkamah Agung (MA) dinilai tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur hukum acara yang memadai. Hanya saja, dalam Peraturan MA No. 1 Tahun 2011 tentang HUM, prosedur penanganan perkara HUM pengaturannya lebih menekankan pada aspek administratif.

“Sementara hukum acara pemeriksaan (HUM) atau proses persidangan tidak banyak diatur,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M Nur Sholikin saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang pengujian UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA di ruang sidang MK, Kamis (7/5).

Dia menjelaskan Perma HUM hanya sebatas mengatur prosedur yang meliputi pengajuan permohonan, pendaftaran, pengiriman salinan permohonan kepada termohon, pengiriman jawaban dari termohon, penunjukan majelis hakim, pemeriksaan perkara, putusan, pemberitahuan putusan, dan pelaksanaan putusan. “Salah satu persoalannya tidak ada pemeriksaan persidangan,” ungkapnya.

Ditegaskan Sholikin, selama ini proses pemeriksaan HUM hanya bersifat administratif tanpa melibatkan para pihak secara langsung dalam persidangan (terbuka). Pihak pemohon atau termohon (instansi yang menerbitkan peraturan) hanya berhubungan secara tertulis dengan MA ketika permohonan HUM diajukan dan penyampaian jawaban termohon. “Majelis tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai permohonan dan jawaban termohon,” paparnya.    



UU No. 48 Tahun 2009

Karena itu, proses persidangan HUM yang terbuka menjadi hak masyarakat terutama bagi para pihak untuk mengetahui proses persidangan. Selain itu, keterbukaan sidang HUM dapat mendorong akuntabilitas pengadilan agar pemeriksaan perkaranya lebih objektif.  
Tags:

Berita Terkait