Judicial Review, Jalan Terakhir ‘Jihad Konstitusi’
Jihad Konstitusi

Judicial Review, Jalan Terakhir ‘Jihad Konstitusi’

Gagal didengar pada saat perdebatan di parlemen saat perumusan undang-undang, judicial review jadi perjuangan terakhir.

Oleh:
KAR/M-22
Bacaan 2 Menit
Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri. Foto: RES
Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri. Foto: RES
Gerakan ‘jihad konstitusi’ telah menghentak publik dengan pembatalan berbagai undang-undang yang dinilai krusial dalam sektor ekonomi. Sebut saja,pembatalan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini, para penggerak jihad konstitusi berkeyakinan masih ada sekitar 115 undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.

Setelah pembatalan UU SDA, gerakan ‘jihad konstitusi’ sedang menyasar tiga UU lain di sektor ekonomi. Ketiga UU itu adalah UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan dan UU Lalu Lintas Devisa. Uji materi dilakukan semata-mata untuk meluruskan UU tersebut sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945, dengan mengedepankan peran negara dalam pengelolaan sumber daya yang akhirnya mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.  

Hukumonline berkesempatan berbincang dengan Syaiful Bakhri, Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jumat (8/5), mengenai jihad konstitusi. Berikut petikannya:

Mengapa Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan ikut dalam barisan jihad konstitusi?
Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang membawa gerakan pembaharuan Islam sejak tahun 1912, jauh sebelum negeri ini berdiri. Setelah kemerdekaan, Muhammadiyah ikut mengkritisi pemerintahan Orde Lama. Di masa berikutnya, Muhammadiyah menjadi bagian yang ikut mendirikan Orde Baru.

Kemudian, Muhammadiyah turut meletakkan fondasi reformasi. Artinya, sejak awal memang Muhammadiyah senantiasa memperhatikan kebijakan pemerintah dan persoalan ketatanegaraan. Tapi, Muhammadiyah juga konsisten melakukan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Apakah upaya ini menandakan Muhammadiyah dan penggerak jihad konstitusi anti terhadap modal asing?
Tidak. Kami tidak menghambat pasar bebas juga. MEA misalnya, tidak ada kaitannya dengan gugatan kami. Ini kan kaitannya dengan pertanyaan, kenapa pembuat UU nuansanya melanggar konstitusi. Tidak ada kaitannya dengan imperialisme, pemodal, liberalisme.

Ketika invetasi asing masuk begitu deras ya tidak apa-apa, tidak masalah. Kan yang dikritisi tidak ada kaitannya dengan melarang atau menghambat investasi asing. Sebab, yang dilawan itu adalah norma-norma dalam UU yang itu dibuat oleh bangsa kita sendiri.

Gerakan jihad konstitusi menuai pro dan kontra. Ada yang mencurigai adanya hidden agenda di balik judicial review yang diajukan. Tanggapan Anda?
Enggak ada. Hanya karena Muhammadiyah besar dan menang terus maka jadi perhatian. Padahal banyak juga pribadi-pribadi yang menang di MK. Seperti pak Antasari Azhar yang mengajukan pengujian pasal atas KUHAP sehingga kemudian Peninjauan Kembali itu bisa dua kali. Jadi, tidak ada hidden agenda itu. konsentrasinya adalah UU yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 sering dikaitkan dengan pemikiran Muhammad Hatta, yakni ekonomi kerakyatan. Apakah pemikiran Bung Hatta menjadi salah satu alasan bagi Muhammadiyah untuk mengajukan judicial review UU di sektor ekonomi?
Yang jelas, Hakim MK itu dalam segala keputusan MK tentang UU Migas justru mengadopsi pikiran Bung Hatta. Pikiran Bung Hatta dalam tulisannya Demokrasi Kita, itu justru yang jadi alasan Hakim MK memutuskan perkara itu.

Ada berapa tepatnya UU di sektor ekonomi yang dinilai bernuansa melanggar konstitusi. Apakah semua akan diajukan judicial review?
Setelah kami teliti ada 115 UU yang mungkin bertentangan dengan konstitusi. Nah, jadi kami pilah-pilah dulu. Sebab, kalau semua diajukan ke MK perlu beraa ratus tahun kerjanya? Pada akhirnya yang dipilih itu adalah yang langsung berkaitandengan Pasal 33 UUD 1945. Itu yang jantungnya, nyata-nyata merugikan rakyat.

Sebut saja UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, itu UU yang sudah pernah dibatalkan. Tapi kemudian hidup lagi, dengan norma yang mirip. Karenanya kita ajukan agar dibatalkan lagi  supaya putusan MK terdahulu itu bisa dijaga dan dihormati oleh legislator.

Apakah saat mengajukan judicial review dipikirkan pula implikasinya?
Tidak. Kalau BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi-red) dibubarkan sebagai implikasi dari permohonan judicial review UU Migas, ya itu urusan pemerintah. Kami hanya memikirkan sebatas makna dari Pasal 33 UUD 1945 itu adalah cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Agar ada perbaikan di sisi regulasi, apa ada upaya lain dari Muhammadiyah selain melakukan uji materi UU ke MK?
Saya tegaskan, tidak ada partai politik yang formal sebagai partai politik Muhammadiyah. Dulu waktu orde lama, partai politik Islam itu tergabung dalam Masyumi tapi orang-orangnya itu adalah orang Muhammadiyah. Sekarang aktivis-aktivis Muhammadiyah itu tersebar, ada di Golkar, PPP, Gerindra, ada di PAN. PAN itu kebetulan yang mendirikan Amin Rais yang kebetulan waktu itu Ketua PP Muhammadiyah, tapi tidak terafiliasi.

Sebetulnya, kita ikut memberikan kritik pada saat perdebatan di parlemen seperti saat perumusan UU Ormas. Tapi pembuat UU masih saja tidak memperhatikan ‘catatan-catatan kecil’ yang kami sampaikan. Ini karena mereka ada akselerasi politik, jadi tidak mendapatkan respon. Akhirnya, perjuangan terakhirnya di MK.
Tags:

Berita Terkait