Investasi, Arbitrase, dan Denial of Justice
Resensi

Investasi, Arbitrase, dan Denial of Justice

Ada tiga kata penting yang perlu diingat ketika membaca buku ini: investasi, arbitrase dan denial of justice.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Buku
Buku "Konsep Denial of Justice dalam Arbitrase Internasional". Foto: RED (Edited)
Tentu saja, bukan berarti kata atau frasa lain tidak penting. Kata investasi, arbitrase, dan denial of justice adalah kata-kata kunci yang sering disebut dalam buku ini, sekaligus mengingatkan pembaca konteks kajian yang dilakukan oleh penulis.

Mulailah dengan kata investasi. Selama puluhan tahun Indonesia menjadi salah satu ‘surga’ investasi. Mudahnya investor masuk berhubungan langsung dengan kepastian hukum berusaha. Setidaknya, kepastian berinvestasi yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertentu, baik yang bersifat antar pemerintah maupun antar pengusaha  dan antara pengusaha dengan pemerintah.

Kalau terjadi sengketa bisnis, biasanya arbitrase akan dipilih sebagai forum penyelesaian. Rumit tidaknya penyelesaian sangat bergantung pula pada klausula perjanjian yang dibuat para pihak. Salah satu konsep yang perlu diperhatikan para pelaku bisnis adalah konsep denial of justice. Begitulah kira-kira korelasi sederhana kata investasi, arbitrase, dan denial of justice. Contohnya adalah ASEAN Comprehensive Investment Agreement. Indonesia menjadi negara anggota di sini. Perjanjian investasi ASEAN ini mengatur kewajiban untuk tidak melakukan denial of justice.

Tetapi, apakah sebenarnya denial of justice itu? Zefanya B.P. Samosir, sang penulis, mengemukakan definisi sederhanya sebagai munculnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional jika negara tidak memenuhi standar tertentu dalam menyelenggarakan peradilan terhadap orang asing (hal. 3). Intinya, denial of justice adalah konsep perlindungan bagi investor yang bertumpu pada tiga unsur, yaitu orang asing, tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional, dan cara tidak adil dalam menyelenggarakan peradilan (hal. 25).

Investor sudah menanamkan duit dalam jumlah besar dalam resiko yang tidak kecil, sehingga ia merasa perlu melindungi dirinya. Selama ini, yang dipakai adalah perlindungan diplomatik. Tetapi lama kelamaan tak dipakai karena investor dapat langsung menyelesaikan sengketanya dengan negara tempat investasi (hal. 3).

Denial of justice dianggap penting bahkan konsep sentral dalam standar minimum internasional. Konsep denial of justice semakin luas dan berkembang, baik dalam forum yang menanganinya maupun sumber. Forum penyelesaian sengketa investasi kian beragam, pengaturan tentang konsep ini juga semakin sering dipakai.

Cobalah baca Pasal 11 (2a) ASEAN Comprehensive Investment Agreement yang menyebutkan fair and equitable treatment requires each Member State not to deny justice in any legal or administrative proceedings in accordance with the principle of due process. Itu baru satu contoh. Dalam buku ini, Zefanya memberikan banyak contoh perjanjian multilateral atau regional yang memuat konsep denial of justice.
Konsep Denial of Justice dalam Arbitrase Internasional
Penulis Zefanya B.P. Samosir
Penerbit CV Keni Media, Bandung
Cet-1 2015
Halaman 178 + x

Akibat hukum denial of justice  adalah negara harus bertanggung jawab baik berupa restitusi maupun kompensasi. Restitusi (pengembalian ke keadaan semula) dianggap tidak mencukupi, sehingga negara masih dibebani kompensasi. Dikatakan penulis, besarnya kompensasi yang harus dibayar sudah sejak lama bermasalah karena perdebatan, misalnya, tentang  pantas tidaknya ganti rugi diberikan untuk mengganti hilangnya reputasi bisnis, kerugian non-material, kerugian tidak langsung atau hilangnya potensi laba di masa depan (hal. 49).

Tentu saja, timbul pertanyaan yang mengusik: kalau proses peradilan yang bersifat tidak adil, mengapa harus negara yang menanggung beban? Siapa pula yang menilai proses hukum itu tidak adil bagi investor? Apa parameternya? Indonesia, misalnya. Bukankah hukum nasional jelas menyebutkan peradilan dilaksanakan secara independen, dan tak boleh diintervensi? Buku ini mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini melalui doktrin dan literatur yang berkembang, terutama dalam kacamata fair and equitable treatment

Indonesia pernah ‘kesandung’ perkara terkait denial of justice. Penulis memberi contoh kasus AMCO (Kartika Plaza), kasus Himpurna, dan kasus Loewen. Bagaimana kasus ini terjadi dan kaitannya dengan denial of justice, sebaiknya baca langsung paparan penulis.

Meskipun diangkat dari tugas akhir  di kampus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dan ada beberapa kesalahan penulisan, karya Zefanya ini layak menjadi bagian koleksi Anda, terutama yang menggeluti dunia investasi dan litigasi. Tentu saja, tidak ada salahnya membaca literatur lain yang relevan. Indonesia punya sarjana-sarjana, seperti Soedargo Gautama (Arbitrase Bank Dunia tentang PMA di Indonesia dan Jurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata), Sunaryati Hartono (Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia), Huala Adolf (Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal), Erman Rajagukguk (Hukum Investasi di Indonesia), dan David Kairupan (Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia),yang sudah menuliskan karya yang relevan. Sebagian dari karya para penulis itu digunakan Zefanya sebagai referensi.

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait