Diskusi itu dihelat oleh Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research (CLEAR), sebuah lembaga kajian hukum yang berdiri sejak Juli 2009 silam. Lembaga sosial ini menaruh perhatian besar pada isu-isu hukum PPNS. Chairman CLEAR, Gandjar LB Bondan, mengatakan pengaturan dalam Undang-Undang membuat PPNS punya kedudukan kuat, tetapi ‘sering ada kendala dalam menjalankan wewenangnya’.
Seperti diketahui, banyak lembaga yang mengenal PPNS. Banyak Undang-Undang sektoral mengatur dan memberikan kewenangan khusus kepada PPNS, baik di bidang ekonomi, perhubungan, hak kekayaan intelektual maupun imigrasi dan lingkungan hidup.
KUHAP memang memberi ruang tumbuh dan berkembangnya PPNS. Semakin kompleks persoalan, semakin urgen kehadiran mereka. Merujuk Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, para PPNS itu ‘membantu’ kepolisian dalam menjalankan fungsi penyidikan. Dalam Lampiran Surat Keputusan Kapolri No. Skep/12051IX/2000 tanggal 11 September 2000, PPNS adalah pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polri.
Meskipun dikenal di banyak lembaga dan diatur dalam banyak Undang-Undang, kinerja dan profesionalisme PPNS tak terlihat ke permukaan. Kajian awal yang dilakukan CLEAR, dan menjadi pengantar diskusi 2 Maret lalu, menemukan adanya isu hukum seperti tumpang tindih kewenangan, penyidik tidak taat asas, dan isu korupsi dalam tahap penyidikan.
Ambil contoh isu tumpang tindih. Kalau ada dugaan peristiwa tindak pidana khusus, siapakah yang punya kewenangan melakukan penyidikan dan apa ukurannya? Berdasarkan riset CLEAR, isu tumpang tindih kewenangan ini pernah terjadi dalam kasus Abdul Waris Halid. Polisi menetapkannya sebagai tersangka penyelundupan gula putih impor, menangkap dan menahannya.
Namun CLEAR melihat masih ada batu sandungan di lapangan. Sangat mungkin PPNS dilaporkan ke kepolisian dengan dasar penyalahgunaan wewenang. Inilah yang dialami penyidik perpajakan. Menurut Sugeng Wibowo, Kasubdit Penyidikan Ditjen Pajak saat diskusi Maret lalu, koordinasi termasuk salah satu masalah yang dihadapi PPNS Pajak. “Koordinasi mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan,” ujarnya.
Hambatan lain adalah ketidakjelasan batas-batas kewenangan PPNS, ketersediaan data dan informasi, kekurangan anggaran, pemahaman atas peraturan, dan perlawanan hukum dari orang yang diperiksa.
Pemahaman atas peraturan berkaitan erat dengan profesionalisme PPNS. CLEAR mencatat dalam kajian awalnya, PPNS haruslah taat asas. Misalkan dalam melakukan penyitaan, PPNS harus meminta terlebih dahulu penetapan pengadilan. Jika tak dilakukan, rawan digugat ke pengadilan. Atau, jika PPNS melakukan penyiksaan dalam pemeriksaan saksi atau tersangka, mereka terancam Pasal 422 KUHP. Pasal ini menyebutkan ‘pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengaku maupun untuk memancing orang supaya memberi keterangan, dihukum penjara maksimal empat tahun.
Arief Muliawan, praktisi pemulihan aset Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung mengakui masih ada persoalan dalam hubungan PPNS dengan penyidik Polri dan Penuntut Umum. Misalnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Seharusnya surat dikirimkan begitu mulai penyidikan. Faktanya, seringkali SPDP baru dikirim lama setelah penyidikan dimulai. “Alasannya macam-macam dan tidak ada sanksi,” jelas Arief dalam diskusi itu.
Melalui kajian ini, CLEAR antara lain ingin menginventarisasi masalah yuridis yang sering terjadi kepada PPNS, sekaligus mengkaji secara kritikal hubungan struktural PPNS dengan penyidik kepolisian sesuai Perkap No. 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS.