“Harapannya, bukan membatalkan pasal, tetapi menambah penafsiran dari MK. Jadi, ketika berkas dikembalikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM ukuran dan syaratnya apa saja menjadi lebih jelas. Mudah-mudahan dengan penafsiran lebih jelas ini bisa menjadi pegangan bagi Komnas HAM dan kejaksaan agung untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan,” ujarnya.
Salah satu pemohon Ruyati menuturkan selama 17 tahun ini dirinya menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang menimpa keluarganya. Namun, hingga kini pemerintah belum merespon. Padahal, tim gabungan pencari fakta Tragedi 1998 sudah menemukan cukup bukti untuk diproses secara hukum.
“Kalau tidak ada kepastian seperti ini, hidup kami tidak menentu. Kami ingin keadilan terwujud,” keluh Ruyati.
Sementara salah seorang korban peristiwa 1965, Bejo Untung mengatakan persoalan “bolak-balik” berkas tidak hanya terjadi pada keluarga korban Tragedi 1998, tetapi juga korban kekerasan peristiwa 1965. Dia sendiri mengalami “bolak-balik” menyerahkan berkas dari Komnas HAM ke Kejagung sebanyak tiga kali. Namun, dari Kejagung berkas dikembalikan lagi ke Komnas HAM dengan alasan yang tidak jelas.
Pemohon meminta MK memberi penafsiran terhadap frasa “kurang lengkap” dalam pasal tersebut agar lebih jelas. Soalnya, selama ini proses penyelidikan (Komnas HAM) ke penyidikan selalu bermasalah lantaran berkas dinilai kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung. Selain itu, frasa “kurang lengkap” ini disinyalir menjadi dalih penegak hukum untuk tidak memproses penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kuasa hukum pemohon dari KontraS, Tioria Pretty Stephanie, mengatakan frasa “kurang lengkap dan seterusnya” menjadi pemicu terjadinya impunitas (pengampunan) untuk tidak menindaklanjuti berkas hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan.
Tioria melanjutkan pengalaman “ping-pong” berkas antara Kejagung dan Komnas HAM mengakibatkan kerugian bagi para korban dan keluarganya secara konstitusional dan hak untuk mendapatkan keadilan. Karena itu, pihaknya ingin MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” menjadi lebih detil supaya tidak ada lagi drama bolak-balik berkas antara kedua lembaga negara itu.
Koordinator Kontras, Haris Azhar menilai pasal itu dijadikan dasar bagi Kejagung untuk tidak menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.