Korban Kerusuhan ‘98 Gugat UU Pengadilan HAM
Berita

Korban Kerusuhan ‘98 Gugat UU Pengadilan HAM

Pemohon meminta MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” dalam proses penyidikan pelanggaran HAM agar tidak terjadi lagi drama bolak-balik berkas.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Haris Azhar, Koordinator Kontras. Foto: Sgp
Haris Azhar, Koordinator Kontras. Foto: Sgp
      “Selama 13 tahun, Jaksa Agung menggunakan pasal tersebut sebagai dalih tidak dapat menindaklanjuti berkas. Frasa ini juga memicu terjadinya drama bolak balik berkas antara kejaksaan agung dan Komnas HAM,” ungkap Tioria usai mendaftarkan permohonan uji materi di Gedung MK Jakarta, Kamis (21/5).   Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM menyebutkan, dalam hal penyidik berpendapat hasil penyelidikan masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikannya ke penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan dan penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Penjelasannya, menyebutkan frasa “kurang lengkap” adalah belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.      

“Harapannya, bukan membatalkan pasal, tetapi menambah penafsiran dari MK. Jadi, ketika berkas dikembalikan dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM ukuran dan syaratnya apa saja menjadi lebih jelas. Mudah-mudahan dengan penafsiran lebih jelas ini bisa menjadi pegangan bagi Komnas HAM dan kejaksaan agung untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan,” ujarnya.

Salah satu pemohon Ruyati menuturkan selama 17 tahun ini dirinya menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang menimpa keluarganya. Namun, hingga kini pemerintah belum merespon. Padahal, tim gabungan pencari fakta Tragedi 1998 sudah menemukan cukup bukti untuk diproses secara hukum.

“Kalau tidak ada kepastian seperti ini, hidup kami tidak menentu. Kami ingin keadilan terwujud,” keluh Ruyati.  

Sementara salah seorang korban peristiwa 1965, Bejo Untung mengatakan persoalan “bolak-balik” berkas tidak hanya terjadi pada keluarga korban Tragedi 1998, tetapi juga korban kekerasan peristiwa 1965. Dia sendiri mengalami “bolak-balik” menyerahkan berkas dari Komnas HAM ke Kejagung sebanyak tiga kali. Namun, dari Kejagung berkas dikembalikan lagi ke Komnas HAM dengan alasan yang tidak jelas.
Lantaran penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dianggap stagnan, perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM Tragedi 1998 yakni Paian Siahaan dan Ruyati Darwin yang memberikan kuasa hukum kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selaku kuasa hukum mempersoalkan Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon meminta MK memberi penafsiran terhadap frasa “kurang lengkap” dalam pasal tersebut agar lebih jelas. Soalnya, selama ini proses penyelidikan (Komnas HAM) ke penyidikan selalu bermasalah lantaran berkas dinilai kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung. Selain itu, frasa “kurang lengkap” ini disinyalir menjadi dalih penegak hukum untuk tidak memproses penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Kuasa hukum pemohon dari KontraS, Tioria Pretty Stephanie, mengatakan frasa “kurang lengkap dan seterusnya” menjadi pemicu terjadinya impunitas (pengampunan) untuk tidak menindaklanjuti berkas hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan.





Tioria melanjutkan pengalaman “ping-pong” berkas antara Kejagung dan Komnas HAM mengakibatkan kerugian bagi para korban dan keluarganya secara konstitusional dan hak untuk mendapatkan keadilan. Karena itu, pihaknya ingin MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” menjadi lebih detil supaya tidak ada lagi drama bolak-balik berkas antara kedua lembaga negara itu.

Koordinator Kontras, Haris Azhar menilai pasal itu dijadikan dasar bagi Kejagung untuk tidak menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait