Hukum Tanpa Moralitas Menjadi ‘Kering’
Seleksi Hakim Agung:

Hukum Tanpa Moralitas Menjadi ‘Kering’

Fadlil mengaku pernah menerima amplop, tetapi dikembalikan melalui panitera.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahmad Fadlil Sumadi. Foto: RES
Ahmad Fadlil Sumadi. Foto: RES
Komisi Yudisial (KY) menggelar seleksi wawancara terbuka terhadap 18 calon hakim agung periode I 2015. Di hari pertama, Panelis yang terdiri dari 7 Komisioner KY bersama Hakim Agung Ahmad Kamil dan Sosiolog Prof Franz Magnis Suseno mewawancarai empat kandidat dari kamar agama. Mereka adalah A Mukti Arto (WKPTA Jambi), Ahmad Fadlil Sumadi (HT PTA Semarang), Syarif  Mappiasse (HT Bawas MA), dan Djazimah Muqoddas (WK PTA Medan).  

Saat Fadlil berkesempatan diwawancarai, salah satu Panelis Ibrahim meminta pandangan Fadlil soal pendekatan konsep hukum dan moralitas dalam praktik peradilan, khususnya dalam penanganan perkara. “Sebab, ada pandangan hukum dan moralitas tidak bisa dipisahkan, tetapi ada yang berpandangan keduanya tidak ada hubungan. Apa signifikansi ketika aspek moralitas dipertimbangkan dalam memutus perkara?”

Fadlil berpandangan hukum tanpa disertai pertimbangan moralitas akan menjadi kering atau tandus. “Karena itu, saat mengadili dan memutus perkara di pengadilan agama dan Mahkamah Konstitusi, saya selalu memperkuat atau menyempurnakan pertimbangan kontitusional saya dengan aspek moralitas,” ungkap Fadlil saat sesi wawancara di Gedung KY, Jum’at (22/5).         

Dia melanjutkan ketika seseorang secara hukum berhak atas sesuatu, tetapi ketika pelaksanaannya hak itu tanpa moralitas justru akan menimbulkan persoalan baru dalam hukum itu sendiri. Misalnya, dalam ketentuan eksekusi yang harus mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Misalnya, ketika melayangkan surat panggilan ada syarat legalnya dan syarat etis atau kepatutan (moralitas).

“Orang tidak patut dipanggil jam 12 malam, meski petugas berwenang untuk itu. Dalam putusan juga seperti itu,” paparnya.  

Lalu, Ibrahim melanjutkan dengan mengutip pandangan ahli hukum dari Kanada Alberta yang berpandangan aspek moralitas itu penting dalam mengadili perkara. Soalnya, hukum tidak mampu menjawab seluruh aspek sosial ketika terjadi sengketa di pengadilan. Sebab, hukum kerap mengedepankan kepastian, benar atau salah menurut hukum tertulis?

Sementara keadilan itu dimensi moral atau etika, misalnya pantas atau tidak menghukum orang dua tahun penjara hanya karena mencuri dua ekor ayam?  “Makanya, jawaban terbaik ‘jangan pernah melepaskan hukum dari aspek moralitas’,” ujar Ibrahim menambahkan.         

Pernah terima amplop
Dalam sesi pertanyaan lain, Fadlil mengaku pernah menerima amplop dari seseorang menjelang Idul Fitri ketika menjadi hakim agama di Pengadilan Agama Semarang. “Apa benar pernah diberi amplop dan diselipi di kantong Saudara, kemudian amplopnya dibuang?” tanya Panelis Imam Anshori Saleh.

Fadlil membenarkan soal pemberian amplop itu dan pemberian itu tidak ada kaitannya dengan perkara yang ditangani, hanya karena saat itu menjelang hari raya Idul Fitri.  Namun, dia menolak pemberian amplop dan mengembalikannya kepada si pemberi melalui panitera pengadilan agama.

“Saya benar menerima amplop itu, tetapi tidak saya buang. Saya harus mengembalikan dengan cara bermoral yaitu memberikan ke panitera dan menyuruh panitera untuk mengembalikannya,” jawabnya.  Fadlil.

Peserta sebelumnya, A Mukti Arto mendapati pertanyaan mengenai visi yang harus diemban dari seorang hakim. Mukti mengatakan prinsipnya seorang hakim harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi atau UUD 1945.

Saat seorang panelis meminta pandangan kasus Machica Mochtar yang pernah dinikahi secara siri oleh mantan Mensesneg Moerdiono. Mukti berpandanganselama syarat nikah sudah terpenuhi maka pernikahannya sah secara agama. Lalu, salah satu pihak bisa mengajukan istbat nikah ke pengadilan agama untuk mengesahkan pernikahannya. “Kalau soal perkawinannya belum tercatat di KUA, itu hanya persoalan tertib administrasi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait