Ini Beberapa Aspek Hukum yang Perlu Diperhatikan Pelaku Start Up
Berita

Ini Beberapa Aspek Hukum yang Perlu Diperhatikan Pelaku Start Up

Dengan pertumbuhan yang sedemikian pesat, para pelaku usaha perlu memperhatikan aspek-aspek hukum yang akan bersinggungan dengan usahanya.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
CEO easybiz.id Bimo Prasetio (kiri). Foto: RIA
CEO easybiz.id Bimo Prasetio (kiri). Foto: RIA
Bisnis start up yang biasa dimulai dari usaha kecil menengah (UKM) semakin menjamur. Sebagaimana dikutip dari Antara, jumlah UKM yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UKM di awal tahun 2014 saja sudah mencapai 56.5 juta unit.

CEO easybiz.id Bimo Prasetio mengatakan, meski bukan hal pertama yang perlu menjadi perhatian, para pelaku usaha perlu memerhatikan aspek-aspek hukum yang akan bersinggungan dengan usahanya. Hal ini penting demi terciptanya pengembangan UKM. Selain itu, memperhatikan aspek-aspek hukum memiliki pengaruh yang sangat besar pada kestabilan usaha yang dijalani. 

“Khususnya usaha-usaha yang telah memiliki brand sendiri dan dirasanya cukup unik,” ujar Bimo.

Dalam diskusi “Membangun Start Up yang Halal” yang diselenggarakan oleh www.hukumpedia.com, Sabtu (23/5), di Indonesia Jentera Law School (IJSL), Jakarta, Bimo memaparkan beberapa aspek hukum yang akan ditemui oleh pengusaha-pengusaha.

Pertama, bentuk usaha. Dijelaskan Bimo, bentuk usaha ini akan menjadi sangat penting ketika usaha sudah bertambah besar, di mana ada investor yang ingin masuk, karyawan sudah bertambah banyak, banyak kerja sama dengan vendor, dan terus berkembang hingga keikutsertaan dalam tender.

“Bentuk usaha berbadan hukum akan terlihat lebih bonafit,” ujar Bimo.

Ditambah lagi, banyak yang mensyaratkan badan hukum untuk membangun kerja sama. Tak jarang yang pertama kali akan ditanyakan ketika akan membangun relasi tersebut adalah mengenai legalitas usaha tersebut.

Hal ini diamini oleh salah seorang peserta diskusi, Reza, yang beberapa kali membangun start up. “Saya beberapa kali bikin start up. Terakhir kali kita ketemu investor, yang ditanyakan oleh mereka itu legalitas. Apa sudah punya atau belum? Kemudian baru mereka bicara soal pembagian, soal share,” cerita Reza.

Terkait bentuk usaha mana yang lebih baik bagi pelaku start up ini, apakah berupa CV (persekutuan komanditer) atau PT (perseroan terbatas), Bimo mengatakan bahwa semua tergantung kebutuhan pengusaha masing-masing.

“Bikin PT itu nggga tergantung modal. Kalau masalah bentuk saya lebih melihat kebutuhan si pengusaha ini; dia pengennya seperti apa,” kata Bimo.

Biasanya, kata Bimo, mereka yang memutuskan untuk membentuk PT karena alasan kompleksitas. Menurutnya, bentuk usaha yang sudah berkembang lebih besar tentu akan memiliki kompleksitas yang tinggi. “Biasanya pengusaha ingin melakukan pemisahan harta, supaya ketika nanti ada permasalahan, mereka tidak akan dikejar tanggung jawabnya sampai ke harta pribadi,” pungkasnya.

Kedua, mengenai izin-izin. “Untuk start up yang harus diproteksi di awal, kalau offline minimal perizinan yang paling sederhana. Kalau punya lokasi, harus ada izin usaha dari kelurahan supaya ngga digusur,” tutur Bimo.

Penggunaan lokasi ini tentu perlu memperhatikan bangunan. Beberapa daerah ada yang melarang penggunaan tempat tinggal/rumah sebagai tempat usaha. Di DKI Jakarta bahkan terdapat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 203 Tahun 1977 yang berisi tentang ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunanaan Rumah Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha.

Izin lainnya yang juga diperlukan adalah izin gangguan. “Kalau ada bisnis yang kemudian dinilai bisa berdampak pada ketentraman sebelahnya, maka dibutuhkan izin gangguan (HO). Klinikhukum HukumOnline pernah mengulas cara pembuatan izin gangguan di sini.

Ketiga, perlindungan kekayaan intelektual. Saat ini pengusaha semakin kreatif. Beragam brand-brand yang unik dapat ditemui dari pelaku pasar yang nampaknya sedang digandrungi oleh orang-orang usia muda.

“Apabila kita melihat brand kita unik, harus langsung kita daftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Sebab, kalau nantinya bisnis itu makin bagus dan brandnya tidak dilindungi, lalu ada satu orang yang klaim duluan brand tersebut, kita akan dihadapkan pada pilihan yang tidak enak,” kata Bimo.

Pilihan tersebut yakni pemilik brand asli diminta untuk membeli brand tersebut kepada si pendaftar pertama, yang mana itu bisa mencapai harga yang menjulang tinggi bila bisnis yang dijalankannya dilihat semakin besar.

“Pilihan kedua adalah kita membayar royalti. Memang lebih murah sih, tapi kan rutin. Kita harus bayar terus-terusan. Jadi ngga ada pilihan yang enak,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait