Calon Hakim Agung Pengagum Umar bin Khattab
Seleksi Hakim Agung:

Calon Hakim Agung Pengagum Umar bin Khattab

Eddhi tak paham perbedaan sidang uji materi di MK dan MA.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Calon hakim agung, Eddhi Sutarto. Foto: ASH
Calon hakim agung, Eddhi Sutarto. Foto: ASH
Tak selamanya penganut sebuah agama/kepercayaan selalu menjadi pengagum tokoh agama dari kalangan agamanya sendiri. Bisa saja sebaliknya, karena kadangkala prinsip dalam sebuah agama tertentu relevan dijadikan pedoman dalam proses penegakan hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini mengemuka dalam sesi wawancara terbuka calon hakim agung di hari terakhir di gedung KY, Senin (25/5).

Adalah salah seorang calon hakim, Eddhi Sutarto. Mantan Kabid Pelayanan Bea Cukai Semarang ini mengaku seorang pendeta agama Budha yang pengagum berat khulafaur rasyidin kedua, Umar bin Khattab. Eddhi mengagumi Umar, karena ketegasannya dalam hal kebatilan. Makanya, Umar dijuluki Al-Faruq, orang yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan.

“Di sini Anda menuliskan kata mutiara, Khalifah Umar bin Khattab ‘Lebih baik mengedepankan kebaikan dibandingkan kebatilan’ Kok bisa?” tanya salah satu Eman Suparman status Eddhi yang juga sebagai pendeta Budha. “Umar itu figur panutan saya, karena dia tegas dalam memimpin dalam upaya menegakkan kebenaran,” ujar Eddhi.

Tak hanya itu, dia kagum kepada ketokohan Umar bin Khattab dalam upaya menegakkan nilai-nilai kebenaran. Sebab, nilai-nilai kebenaran tidak ada yang mendua. “Saya coba praktikkan contoh Umar dalam hal ini, karena tidak ada kebenaran yang mendua mengutip pandangan pujangga Majapahit, Mpu Tantular,” kata PNS Kementerian Keuangan ini.

“Sejak kecil saya memang sering mengaji (dalam agama Islam). Karena memang tidak ada keluarga saya yang beragama Budha. Anak-anak saya pun beragama Islam,” ungkapnya.

Karena itu, kata dia, pendekatan moral yang bersumber dari agama dan etika dalam penanganan perkara-perkara hukum menjadi penting. Dia mengibaratkan kalaubangunan rumahnya, “spiritual” itu pilarnya. Kalau sudah pondasi kuat, pasti putusannya akan bijaksana. Kalau seperti ini, hakim sebagai wakil Tuhan, putusannya dipastikan dapat dipertanggungjawabkan.

Menurutnya, sebaik apapun putusan pengadilan tanpa dilandasi moral dan etik itu tidak ada artinya. “Putusan ini tidak mengandung kebijaksananaan. Makanya, saya menekankan dasarnya moral dan etik, serta nilai-nilai yang melekat dalam kehidupan, maka tidak akan ada pelanggaran.”

Baginya, kini pilihan hidupnya untuk menjadi hakim agung tidak hanya didasarkan pada pengabdian kepada negara, tetapi sebagai sangu, bekal mengamalkan nilai-nilai kebenaran. “Saya ini ingin dapat sangu (bekal) di alam lain karena , kalau pendeta hanya untuk diri sendiri. Seperti halnya pola pikir Umar bin Khattab, kalau tujuannya hanya mengabdi, terlalu apa ya...” jawab Eddhie saat ditanya motivasi ikut seleksi CHA.

Eddhie juga tak menampik menjadi hakim agung harus bekerja secara mandiri dan terbiasa dengan beban kerja menumpuk dalam penyelesaian perkara. “Jadi, hakim agung bisa bekerja sendiri, saya sudah terbiasa beban kerja banyak dan memiliki manajemen waktu dalam penyelesaian pekerjaan. Apalagi saya pernah belajar manajemen di Universitas Indonesia, pekerjaan ini bisa dipercepat dengan dukungan IT,” ujarnya saat ditanya anggota panelis Abbas Said.

Saat panelis Taufiqurrohman Syahuri menanyakan pemahamannya tentang uji materi di MK dan MA ini, Eddhi kurang mampu menjawab secara baik. Dia hanya hanya menjawab kalau putusan pengujian undang-undang di MK bersifat final dan mengikat. “Berarti kalau putusan uji materi ini MA tidak bersifat final? Bagaimana perbedaan keduanya?” tanya Taufiq. ” ujar Panelis Taufiq kembali. Namun, Eddi hanya terdiam.

Taufiq melanjutkan secara umum perbedaan sidang uji materi MA lebih bersifat tertutup daripada sidang uji materi di MK. “kita enggal tahu di MA itu sidangnya gimana, meski prinsipnya sidang dinyatakan terbuka untuk umum, tetapi faktanya tertutup karena jadwal sidangnya tidak ada,” katanya.

Di hari terakhir ini, Panelis yang terdiri dari 7 Komisioner KY bersama Hakim Agung Supandi dan cendiakawan Azyumardi Azra mewawancarai lima kandidat dari kamar TUN dan militer. Selain Eddhi, Panelis mewawancarai Yosran (HT PTUN Surabaya), Ardilafiza (Dosen FH Universitas Bengkulu), Lanny Ramli (Dosen FH Unair Surabaya), dan Susiani (Irdyaumniskum Itdikumad Direktorat Hukum TNI AD).
Tags:

Berita Terkait