Studi: Pengacara Bergaji Tinggi Bukan Jaminan Bahagia
After Office

Studi: Pengacara Bergaji Tinggi Bukan Jaminan Bahagia

Paradigma tentang apa itu sukses sudah harus diubah sejak bangku perkuliahan.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Pernah dengar ungkapan “money can’t buy happiness” atau “uang tidak bisa membeli kebahagiaan”? Pernah atau belum, anda perlu menyimak hasil studi yang mengafirmasi bahwa ungkapan itu ternyata benar. Dipublikasikan oleh George Washington Review, sebuah hasil studi menyatakan seorang pengacara bergaji tinggi tidak otomatis akan menjadi bahagia.

Studi bertajuk “What Makes Lawyers Happy?” ini merupakan kolaborasi dua profesor Amerika Serikat dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Yang pertama adalah Lawrence Krieger, seorang profesor hukum dari Florida State University. Mitranya Krieger adalah Kennon Sheldon, seorang profesor psikologi dari University of Missouri.

Dalam melakukan studi ini, Krieger dan Sheldon menggelar survei di empat negara bagian. Total responden studi ini 7200 orang, namun hanya 6200 orang yang berkenan memberikan data-data lengkap. Mereka mengaku berprofesi sebagai hakim, pengacara, dan profesi terkait lainnya. Inti dari studi ini adalah mengorelasikan antara kesejahteraan (well-being) dengan kebahagiaan (satisfaction). Krieger dan Sheldon

Melalui studi tersebut, sebagaimana diwartakan laman www.abajournal.com, Krieger dan Sheldon memperoleh beberapa temuan menarik. Misalnya, pengacara yang bekerja di firma hukum besar plus posisi yang mentereng ternyata tidak sebahagia seorang pengacara publik. Lalu, seorang junior partner dengan gaji besar tidak lebih bahagia dari seorang senior associate. Terakhir, ini yang paling menarik, hakim ternyata menjadi profesi yang memiliki level kebahagiaan paling tinggi.

“Hasil studi menunjukkan indikasi yang konsisten bahwa kebahagiaan seorang pengacara tidak otomatis berkaitan dengan materi, kemakmuran dan prestise, tetapi lebih soal menikmati pekerjaan, kemanfaatan, dan kesempatan membantu orang yang membutuhkan,” begitu kesimpulan studi Krieger dan Sheldon. 

Dari temuan-temuan yang diperoleh dari studi itu, Krieger dan Sheldon mengeluarkan imbauan kepada calon mahasiswa agar jika ingin memilih fakultas hukum seyogyanya disandarkan pada nilai-nilai pribadi dan cita-cita ketimbang mengejar prestise dan materi.

“Mahasiswa hukum terkenal pekerja keras demi memperoleh nilai tinggi, bahkan mengorbankan kesehatan dan kehidupan sosialnya. Mereka berpikir ‘nanti aku akan bahagia, karena impian Amerika menjadi milikku’. Itu hal bagus, tetapi sayangnya tidak sejalan dengan realitas,” kata Krieger.

Krieger dan Sheldon berpendapat paradigma tentang apa itu sukses sudah harus diubah sejak periode perkuliahan. Seorang mahasiswa terbaik di fakultas hukum harus sejak awal ditanamkan pemahaman bahwa sukses bukan berarti mengejar materi sebanyak-banyaknya.

Jika yang dikejar hanya materi, maka mahasiswa hukum justru sulit menemukan kebahagiaan jika nanti lulus kuliah dan memasuki dunia kerja. Menurut Krieger dan Sheldon, peran untuk mengubah paradigma terkait sukses seyogyanya dijalankan oleh dosen di perkuliahan dan atasan di lingkungan kerja.

Sebuah artikel di blog New York Times mencoba mengaitkan temuan-temuan dalam studi Krieger dan Sheldon dengan studi-studi lain. Misalnya terkait kesehatan jiwa dari orang yang berprofesi praktisi hukum. Berdasarkan studi yang dilakukan Johns Hopkins di tahun 1990 menyatakan pengacara mengalami depresi 3.6 kali lipat dari profesi non pengacara.

Selain studi, data-data lapangan terkait seperti tingkat bunuh diri di kalangan pengacara juga dipaparkan dalam artikel ini. Misalnya, data dari Centers for Disease Control and Prevention bahwa pada periode 1999-2007, 54 persen pengacara cenderung berpotensi bunuh diri ketimbang profesi lainnya.

Apa yang dipaparkan di atas memang merujuk pada kondisi di Amerika Serikat. Untuk Indonesia sendiri, sejauh ini belum ada studi serupa. Bagaimana menurut anda, apakah studi Krieger dan Sheldon relevan juga untuk kondisi dunia kepengacaraan di Indonesia?
Tags:

Berita Terkait