Pemerintah Cari Cara Penuntasan Terbaik
Pelanggaran HAM Berat:

Pemerintah Cari Cara Penuntasan Terbaik

Penyelesaian akan ditempuh secara yudisial dan non yudisial.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Cari Cara Penuntasan Terbaik
Hukumonline
Wakil Ketua Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengatakan pemerintah mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Upaya mencari cara terbaik itu antara lain sudah dibahas dalam pertemuan Komnas HAM dengan Polri, Kejaksaan Agung, Menkopolhukam. Penyelesaiannya bisa dilakukan lewat yudisial dan non yudisial karena masing-masing cara punya berbagai elemen yang harus dilewati setelah ada kesepakatan bersama.

Misalnya pengungkapan peristiwa, penyesalan negara atas peristiwa tersebut, jaminan peristiwa itu tidak berulang dan pemulihan korban. “Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang harus diselesaikan. Itu adalah agenda bangsa yang harus kita tuntaskan,” katanya di Jakarta, Rabu (27/5).

Roi –panggilan Roichatul-- mengingatkan, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat baik secara yudisial dan non yudisial. Setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, Komnas HAM melihat sudah ada sejumlah usulan penyelesaian. Misalnya, meminta agar didahului dengan kesepakatan berbagai pihak dan penyelesaiannya tidak bisa menggunakan cara tunggal.

Opsi penyelesaian terbaik masih dalam pembahasan. Pemerintah, termasuk Komnas HAM masih terus menjaring masukan dari masyarakat. Partisipasi itu diperlukan sebelum pemerintah memutuskan langkah apa yang akan ditempuh dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. “Jadi kita masih mencari masukan,” ujarnya.

Roi mengatakan pemerintah belum menentukan kapan upaya menjaring masukan dari masyarakat itu berakhir. Tapi yang jelas masing-masing pihak terkait seperti Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Menkopolhukam berkomunikasi secara intensif dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM berat. “Kalau dibutuhkan pertemuan maka kami akan menggelar pertemuan kembali,” tukasnya.

Sebelumnya, sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat didampingi KontraS menyambangi kantor Komnas HAM di Jakarta. Mereka mengecam Komnas HAM periode 2012-2017 karena aktif membentuk Komisi Rekonsiliasi yang digagas pemerintah. Komisi Rekonsiliasi itu dinilai melanggengkan impunitas karena tidak jelas dasar hukum dan kedudukannya dalam hukum di Indonesia. Upaya itu dilihat sebagai keterlibatan Komnas HAM yang menyederhanakan penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat cara saling memaafkan tanpa akuntabilitas.

Koordinator Biro Advokasi KontraS, Yati Andriyani, keterlibatan Komnas HAM dalam mendorong Komisi Rekonsiliasi telah mengacaukan penegakan hukum di Indonesia. Mandat penyelidikan yang diamanatkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM kepada Komnas HAM dianggap telah disalahgunakan untuk kepentingan kompromi politik dengan ikut mendorong rekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Yati memandang komisioner Komnas HAM sekarang menyepelekan hasil kerja keras komisioner periode lalu yang telah melakukan penyelidikan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti  peristiwa G.30.S/1965, Talangsari, penembakan misterius, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Atas nama korban dan keluarga, Yati mendesak Presiden Jokowi segera membentuk Keputusan Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, menerbitkan Instruksi Presiden yang isinya memerintahkan Komnas HAM dan Kejaksaaan Agung menyelesaikan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Yati juga menuntut Komnas HAM menjalankan fungsi dan kewajibannya melakukan penyelidikan atas kasus pelanggaran HAM berat. “Mengupayakan agar dilakukan penyidikan sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Yati di kantor Komnas HAM di Jakarta, Selasa (26/5).

Komnas HAM juga diminta tidak mendorong pembentukan komisi rekonsiliasi karena berpotensi jadi impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Selaras itu Komnas HAM dituntut berinisiatif lebih baik dalam mencari solusi atas kebuntuan proses hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Seperti melakukan komunikasi yang efektif dan intensif dengan Presiden, Kejaksaan Agung dan DPR.
Tags:

Berita Terkait