Berpotensi Politis, ‘Persetujuan’ DPR Sebaiknya Diubah
Pengangkatan Panglima TNI:

Berpotensi Politis, ‘Persetujuan’ DPR Sebaiknya Diubah

Presiden bisa meminta masukan dari KPK, PPATK, dan Komnas HAM.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Imparsial. Foto: SGP (Ilustrasi)
Imparsial. Foto: SGP (Ilustrasi)
Direktur Program Imparsial, Al Araf, menilai dalam sistem presidensil pengangkatan Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BIN bisa dilakukan langsung oleh Presiden tanpa persetujuan DPR. Sama halnya dengan kewenangan Presiden mengangkat menteri.

"Logikanya, mengangkat menteri saja tidak perlu persetujuan DPR. Panglima TNI (Kapolri dan Kepala BIN), itu setara posisinya dengan menteri," katanya dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Kamis (28/5).

Al menilai mekanisme pengangkatan Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BIN lewat persetujuan DPR berpotensi politis. Mekanisme ‘persetujuan’, kata Al, sebaiknya diganti menjadi pengawasan. DPR bisa melakukan pengawasan terhadap kinerja Panglima TNI – Kapolri dan Kepala BIN-- pilihan Presiden.

Al menduga ‘persetujuan’ DPR dibuat pada awal reformasi guna mencegah kemungkinan kewenangan yang berlebihan Panglima TNI sebagaimana terjadi pada Orde Baru. Saat ini, paradigmanya sudah berubah. Al berpendapat ‘persetujuan’ DPR sudah tidak terlalu penting. Yang dibutuhkan kini adalah masukan dari lembaga pemerintah lain. Jejak rekam calon Panglima bisa diminta kepada lembaga negara lain seperti PPATK, KPK, dan Komnas HAM.

Al berharap Presiden Joko Widodo melakukan pergantian Panglima TNI secara objektif. Tujuannya agar kisruh seperti pengangkatan Kapolri tidak terjadi dalam pengangkatan Panglima TNI. Presiden harus benar-benar memerhatikan jejak rekam calon khususnya dalam HAM, demokrasi,  pemberantasan korupsi, dan agenda reformasi lainnya.

Calon panglima TNI dituntut berkomitmen menuntaskan agenda reformasi TNI. Seperti reformasi peradilan militer lewat revisi UU No. 31 Tahun 1997. Sikap itu bisa ditunjukan dengan tidak melakukan resistensi jika pemerintah dan DPR membahas revisi UU Peradilan Militer. Kemudian, restrukturisasi komando teritorial (koter), berkomitmen untuk patuh pada hukum dan otoritas sipil.

Mengacu pasal 13 ayat (4) UU TNI, Al mengusulkan agar calon Panglima TNI dilakukan secara bergiliran (rotasi) antar matra. Dengan cara itu, Panglima berikutnya berasal matra Angkatan Udara. Sistem giliran  penting guna mencegah terjadinya friksi dan kecemburuan antar Angkatan di TNI. "Sekarang, seharusnya gilirannya matra udara. Maka yang berkesempatan jadi Panglima TNI adalah kepala staf angkatan Udara," ujarnya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, belum melihat pimpinan TNI punya keinginan yang baik untuk memberantas korupsi khususnya di TNI. Sebab, sampai sekarang UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi. Ia yakin jika revisi tidak dilakukan, pengungkapan kasus korupsi di TNI akan sulit.

Peneliti Imparsial, Ardi Manto, mengingatkan saat ini TNI telah menjalin sejumlah nota kesepahaman atau MoU dengan lembaga pemerintahan. Misalnya, MoU dengan Kementerian Perhubungan dalam rangka mengamankan stasiun kereta api. "Ini menghambat proses reformasi internal TNI," tukasnya.

Direktur Riset Imparsial, Gufron Mabruri, berpendapat pelibatan TNI dalam tugas operasi militer selain perang memang dimungkinkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI. Tapi, pelibatan itu harus berlandaskan sejumlah prinsip yakni didasarkan atas keputusan politik negara dan mempertimbangkan eskalasi ancaman, proporsionalitas, dan bersifat terbatas.

"Panglima TNI tidak bisa secara otonom melakukan berbagai MoU dengan instansi lain tanpa ada keputusan politik negara. Berbagai MoU itu justru jadi ruang baru bagi TNI untuk terlibat di ranah sipil," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait