Sanksi Kewajiban Rupiah Dinilai Memberatkan
Berita

Sanksi Kewajiban Rupiah Dinilai Memberatkan

Bahwa setiap orang, tahu maupun tidak tahu terkait kewajiban ini tetap bisa dijerat.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: RES
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Foto: RES
Sanksi akibat kewajiban penggunaan Rupiah baik kartal maupun giral dinilai masih terlalu berat. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan jika penerapan aturan ini tidak disertai dengan penegakan hukum yang baik, maka akan mudah orang masuk penjara, apalagi mereka yang tidak mengetahui ketentuan ini.

“Jangan sampai keinginan untuk menguatkan Rupiah tapi nyatanya penjara semakin penuh,” kata Hikmahanto dalam diskusi yang digelar hukumonline, Kamis (28/5).

Sebut saja sanksi untuk penggunaan uang kartal yang tercantum pada Pasal 33 UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam pasal itu disebutkan bahwa setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi dipidana paling lama satu tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta.

Ketentuan itu tidak harus membuktikan penerima atau pemberi valas dalam setiap transaksi memiliki niat jahat. Misalnya dalam keadaan darurat, seorang wisatawan baru datang ke Indonesia dan belum sempat menukar uangnya ke Rupiah, dan melakukan transaksi di bandara, masih bisa dijerat dengan pasal ini.

“Kalau setiap orang dengan sengaja, itu mungkin harus ada niat. Jadi pasal ini, tahu tidak tahu, tetap bisa dijerat,” kata Hikmahanto.

Meski begitu, lanjut Hikmahanto, sebagai warga negara wajib tunduk terhadap aturan ini. Walau begitu, terbitnya PBI No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) khususnya giral bertujuan sebagai penguatan Rupiah. Namun, tujuan ini harus disertai dengan kepercayaan masyarakat bahwa fundamental Rupiah dan ekonomi Indonesia kuat.

“Ini bukan masalah hukum semata tapi ada gandengan dari sisi ekonomi seperti apa. Sehingga kalau misalnya berdasarkan aturan harus gunakan rupiah tapi tidak disertai fundamental perekonomian, ini agak berat,” ujar Hikmahanto.

Hikmahanto mengatakan, jika masyarakat atau pelaku usaha berkeberatan terhadap dua ketentuan ini, ada cara yang bisa ditempuh. Jika pasal-pasal dalam UU Mata Uang dinilai masih berat, maka bisa ditempuh melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan jika ingin men-judicial review PBI, bisa dilakukan ke Mahkamah Agung (MA).

Biro Hukum Kejaksaan Agung, Prinuka Arrom, menambahkan sejak UU Mata Uang diundangkan hingga sekarang belum ada satu perkara yang masuk ke Kejaksaan Agung. Bahkan, dari terbitnya PBI hingga kini, belum ada kerja sama antara Bank Sentral dan Kejaksaan Agung.

Atas dasar itu, hukum acara yang akan diterapkan Kejaksaan Agung jika ada kasus yang berkaitan dengan substansi PBI maka digunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Karena belum kerja sama dengan BI, maka kami berpatokan kepada KUHAP, fungsi penuntut umum, tunggu perkara dari penyidik Polri terkait pelanggaran,” katanya.

Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI, Hernowo Koentoadji mengatakan, Pasal 12 PBI menyebutkan, BI berwenang untuk meminta laporan, keterangan dan atau data kepada setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi di wilayah NKRI dan kewajiban pencantuman harga barang atau jasa. Pihak tersebut wajib menyampaikan laporan, keterangan dan atau data yang diminta BI. Permintaan ini termasuk dalam pengawasan yang dilakukan BI.

“Dalam PBI juga mengatur pelaporan dan pengaawasan kepatuhan yang dilakukan BI. BI tidak mungkin menjangkau seluruh masyarakat. Prosedurnya bagaimana akan diatur dalam surat edaran (SE),” kata Hernowo.

Menurutnya, pelanggaran atas kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, kewajiban membayar dan atau larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran. Ia percaya sanksi larangan ikut dalam lalu lintas pembayaran ini sangat berat bagi pelaku usaha.
Tags:

Berita Terkait