Coba-Coba Lagi
Tajuk

Coba-Coba Lagi

Ternyata semua pemimpin kita sejak awal kemerdekaaan sampai saat ini masih melakukan percobaan-percobaan, mencari bentuk dan gaya pemerintahan, dan bermain-main dengan kelembagaan, politik, dan kekuasaan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Basuki
Ilustrasi: Basuki
Kebesaran Soekarno, tentunya dengan pengaruh guru, teman dan lawan politik pada zamannya, terletak pada keberhasilannya membangun identitas bangsa Indonesia. Dari suatu kumpulan grup etnis yang berbeda kultur, bahasa dan adat, dan terpisah dalam rentang geografis yang luas, masing-masing dengan kepentingan ekonomis serta keinginan berkuasa sendiri, menjadi suatu bangsa, (nation) dengan identitas jelas. Bangsa yang dipersatukan oleh bahasa, penderitaan karena penjajahan, kebodohan, keinginan untuk merdeka dan mengatur nasib sendiri.

Dengan titik berat pada pembangunan sistem politik yang jatuh bangun dengan sejumlah percobaan, dari negara kesatuan, menjadi federal, dan kembali lagi menjadi negara kesatuan, bisa dimaklumi bahwa program ekonomi jadi keteteran. Rakyat ikhlas, karena semua sama memikul derita. Generasi yang kini berumur 60 tahun ke atas tahun, masih ingat bahwa kecuali pengusaha dan pejabat tinggi, rakyat harus antri beras, minyak tanah, bahan baju dan lain-lain kebutuhan pokok. Inflasi gila-gilaan, rupiah dipotong, kehidupan sulit merata di seluruh negeri, sehingga negeri sesubur Indonesia terpaksa memberi rakyatnya bulgur sebagai pengganti beras .
Di zaman itu, korupsi bisa dibilang hampir tidak ada, kalaupun ada biasanya terkait dengan kepentingan partai politik. Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan relatif bersih, dan hakim-hakim, dilihat dari keputusan-keputusannya, bisa dibilang bermutu. Hukum ditegakkan kecuali terhadap mereka yang berontak atau bersimpang sikap politik dengan Soekarno.

Tapi akhirnya  Soekarno jatuh juga. Banyak hal yang sekaligus terjadi: pengaruh perang dingin, kehidupan ekonomi yang berat, ketakutan pada bahaya komunis, militer berpolitik dan barat merasa bahwa arah gerakan Soekarno bisa membahayakan posisi mereka di perang dingin.

Soeharto yang militeristis dan dekat dengan barat mencoba demokrasi sebatas kulitnya, mengontrol semua parpol, ormas dan birokrasi sampai tingkat desa, dan membangun Indonesia dengan kendali kuat dan tangan besi. Apa boleh buat, HAM dikorbankan, mulut dibungkam. Akibatnya sistem dan lembaga hukum dirusak, diperlakukan sekunder. Bisnis, investasi asing, dan perdagangan berjalan karena kehendak dan kendalinya, bukan karena mekanisme sistem ekonomi dan kebebasan pasar yang fair, karena monopoli dipegang kelompok-kelompok terdekatnya,  

Karena korupsi merajalela, dan gaya represif sudah tidak sesuai lagi dengan gerak zaman, golongan menengah bosan, dan pasar menghukum Soeharto dan orde barunya. Ia jatuh dengan meninggalkan kerusakan masif pada kelembagaan negara dan kultur kerja yang menjadi sangat korup lintas birokrasi, bisnis dan kehidupan sosial.

Setelah dua percobaan yang gagal tersebut, Habibie yang ketiban sawab menggantikan Soeharto hanya melihat satu alternatif, yaitu membangun Indonesia yang modern, apalagi dengan latar belakang dan eksposurnya terhadap teknologi dan barat. Pemerintahan Habibie termasuk yang paling produktif mengeluarkan peraturan perundangan dan pembangunan lembaga negara. Tapi karena percobaan ini tidak didahului oleh reformasi kelembagaan dan sumber daya manusia yang mampu mendobrak kebuntuan warisan budaya korup, hukum dan lembaga hukum tampak baik di kertas, tidak mengakar ke bawah, dan tidak mengubah budaya kerja.

Selanjutnya sejarah menyaksikan sejumlah “flavors” yang diberikan oleh pemimpin selanjutnya. Gus Dur yang manusiawi tetapi lemah dalam manajemen pemerintahan. Megawati yang terus beretorika di bawah bayang-bayang Soekarno di tengah upaya keluar dari krisis ekonomi Asia. SBY yang mencoba berdemokrasi dengan elegan tetapi justru melakukan banyak pembiaran yang melanda politik dan hukum kita (ingat kasus kriminalisasi KPK dimulai di sini). Dan terakhir, Jokowi yang masih meraba-raba mau mencoba gaya pemerintahan yang belum jelas seperti apa, tetapi sudah keburu gagal dalam penegakan hukum karena tidak dapat mengatasi kemelut antara lembaga hukum dalam kisruh KPK-Polisi akhir-akhir ini.

Jokowi berusaha keluar dari bayang-bayang dan pengaruh Megawati, mencoba lebih akomodatif dengan para oposannya, dan menganggap bahwa menjalankan program kesehatan, pendidikan dan kesejahteraaan untuk rakyat kecil sudah cukup meredam gejolak politik dan kekacauan yang ditimbulkan oleh ketegangan KPK-Polisi. Jokowi juga percaya bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran akan mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan konsumsi. Jokowi percaya bahwa kekuatannya adalah para relawan dan rakyat kecil pemilihnya. Jokowi mungkin lupa bahwa para relawan, rakyat kecil, dan umumnya kelas menengah Indonesia, juga menginginkan KPK kuat dan berhasil, Kepolisian direformasi, dan birokrasi bersih dari korupsi.

Okelah, percobaan masih berjalan, waktu masih 4 tahun tahun lebih, dan Jokowi berhak duduk di kekuasaan dan melakukan percobaan-percobaan. Kebijakan terakhir Jokowi, yang memilih seluruh anggota panitia seleksi komisioner KPK wanita semua juga suatu percobaan baru yang menarik. Ini bukan semata pilihan nyeleneh, karena mereka yang dipilih sebagian adalah para ahli, dan sebagian lainnya dikenal sebagai aktivis anti korupsi. Wanita biasanya punya intuisi lebih tajam untuk memahami apakah seseorang baik atau tidak baik, dan dengan keahlian mereka dan pemahaman tentang korupsi dan pemberantasannya. Ini adalah suatu harapan baru.

Persoalannya masih ada proses lanjutan di DPR untuk memilih 4 komisioner -satu posisi komisioner sudah 'dialokasikan' untuk Busyro Muqoddas atau Roby Arya Brata yang terlebih dulu melalui proses seleksi-. Artinya pilihan panitia seleksi atas 8 calon komisioner mau tidak mau harus 8 orang calon terbaik di Indonesia yang bila dipilih 4 diantaranya akan sama baiknya dengan 4 calon lainnya yang tidak dipilih DPR, sehingga DPR tidak bisa main-main dengan pilihannya. Persoalan beratnya, bukan main sulitnya memilih 8 orang terbaik tersebut. Orang-orang terbaik mungkin malas mendaftar karena masih ada proses di DPR. Orang-orang yang mau berbakti untuk pemberantasan korupsi mungkin tidak mau bernasib sama dengan para mantan dan komisioner KPK sekarang yang dikriminalisasi.

Orang-orang terbaik itu harus tidak punya cacat sedikitpun dalam sejarah hidupnya yang bisa kelak diungkap menjadi perkara pidana. Jokowi harusnya tidak boleh tanggung-tanggung. Memilih pansel yang baik, memilih calon komisioner dari orang-orang terbaik, harus dibarengi oleh jaminan bahwa mereka kelak dalam masa jabatannya tidak akan dikriminalisasi. Proses di panitia seleksi harus teliti menyaring hal ini, dan pada waktu 8 calon diajukan kepada Presiden, Jokowi harus mendapat jaminan dari polisi dan jaksa bahwa tidak ada dalam sejarah para calon yang kelak bisa dijadikan alasan kriminalisasi.     

Begitulah, apa yang mau saya sampaikan di sini, ternyata semua pemimpin kita sejak awal kemerdekaaan sampai saat ini masih melakukan percobaan-percobaan, mencari bentuk dan gaya pemerintahan, dan bermain-main dengan kelembagaan, politik, dan kekuasaan. Yang menyedihkan, dalam semua percobaan tersebut, sistem hukum dan penegakan hukum yang harusnya tidak boleh terpengaruh oleh gaya kepemimpinan, selalu ditinggalkan. Penguasa boleh bergenit-genit dengan gayanya berkuasa, hubungan politik dengan kawan dan lawan politik boleh tegang untuk mewacanakan apa yang terbaik untuk bangsa.

Percobaan-percobaan baru pemimpin silahkan dilakukan. Yang tidak boleh dikorbankan adalah pilar-pilar utama demokrasi kita. Pemilu tetap harus fair dan terbuka. Kelembagaan parlemen harus dibangun untuk memperkuat kemampuan legislasi. Reformasi birokrasi harus dilakukan dengan masif untuk mengikis korupsi dan budaya kerja yang merusak. Good governance di pemerintahan dan korporasi harus dimaksimalkan untuk menghasilkan pemerintahan dan dunia usaha yang bebas korupsi. KPK diperkuat, dan Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan wajib direformasi habis. Kebebasan pers dijamin tetapi juga penyalahgunaannya ditindak. Sistem pengawasan pembangunan diperketat. Kalau ini bisa dilakukan, pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan baru bisa efektif dibangun.

Buat apa pertumbuhan ekonomi bergerak tinggi kalau birokrasi tidak efektif dan hasilnya masuk kantong segelintir orang? Buat apa modernisasi lembaga penegak hukum dilakukan kalau produk akhirnya tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan? Buat apa pemilu gegap gempita dilakukan kalau hasilnya tidak menjadikan parlemen dan pemerintahan yang bersih dan lebih baik?

Hal-hal paling dasar seperti ini penting untuk menjaga apa yang sudah dibangun dengan percobaan-percobaan di masa lalu yang sudah memakan banyak korban dan biaya untuk bangsa ini. Identitas kita sebagai bangsa yang dibangun Soekarno sangat layak dijaga untuk mencegah perpecahan bangsa. Kelembagaan negara yang pernah efektif dan tidak korup pernah dilakukan, dan bisa dilakukan. Setiap pemimpin tentu ikut bertanggung jawab atas semua kekurangan yang terjadi atau dibiarkan terjadi di zamannya masing-masing. Tetapi setiap pemimpin juga melakukan sejumlah percobaan yang ada juga hasil positifnya.

Jokowi kelihatan seperti banyak memikul keraguan dalam awal pemerintahannya, dan menyumbang kesalahan besar juga dalam kisruh Polisi-KPK yang hasilnya melemahkan KPK. Tetapi Jokowi kelihatannya adalah orang yang cepat belajar dan tidak malu untuk belajar dari kesalahan. Ia bukan turunan feodal, bukan jenderal militer atau keturunannya, bukan ketua parpol atau politikus kawakan, dan bukan juga pengusaha besar yang kaya raya karena sistem yang korup. Semua kesederhanaan latar belakangnya harusnya memberi Jokowi beban ringan untuk melakukan hal-hal besar. Dan hal-hal besar itu cukup dengan melakukan hal-hal paling dasar seperti di atas, tidak percobaan yang aneh-aneh.

Kalau Jokowi gagal, dan sudah banyak orang menjadi skeptis akan keberhasilannya, maka ini bisa membunuh harapan orang-orang biasa yang percaya dan berharap bahwa dengan tanpa modal apapun kecuali sentimen dukungan rakyat, mereka bisa memenangkan pemilu dan memimpin pemerintahan. Kalau Jokowi gagal, ini bisa mengembalikan kita ke praktik lama, bahwa untuk bisa memimpin Indonesia, seseorang membutuhkan jabatan, uang, senjata dan parpol. Jadi percobaan Jokowi, yang mungkin juga percobaan kita golongan paham (informed-society) kali ini, harus tidak boleh gagal.

Tromso, akhir Mei 2015
Tags: