Banding KPK Terhadap Putusan Praperadilan Hadi Purnomo Dinilai Tepat
Berita

Banding KPK Terhadap Putusan Praperadilan Hadi Purnomo Dinilai Tepat

Pertimbangan hukum putusan praperadilan hakim Haswandi dinilai melebihi kewenangannya.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap menilai upaya hukum banding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap putusan praperadilan Hadi Purnomo adalah hal wajar. Menurutnya, upaya hukum banding dilakukan dalam rangka mencari kebenaran terhadap putusan yang dibacakan oleh hakim tunggal Haswandi di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan beberapa hari lalu.

“Jadi hukum terbuka untuk siapapun dalam mencari kebenaran, itu bagian untuk membuktikan benar tidaknya putusan tersebut, itulah prinsip equality before the law,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (3/6).

Menurutnya, putusan terhadap praperadilan yang dimohonkan mantan Dirjen Pajak itu menjadi peristiwa hukum yang baru. Dalam rangka mempertahankan proses hukum yang dilakukan oleh lembaga antirasuah itu, adalah hal wajar KPK melakukan upaya hukum banding sepanjang diatur dalam perundangan yang berlaku.

Anggota Komisi III Arsul Sani mendukung KPK mengajukan upaya hukum terlepas banding atau pun Peninjauan Kembali (PK) nantinya. Terlebih, Mahkamah Agung (MA) sudah membuka diri untuk menguji putusan hakim tunggal Haswandi. Ia menilai pertimbangan hukum putusan praperadilan hakim Haswandi melebihi kewenangannya, yakni hakim dalam pertimbangan hukumnya mempertimbangkan keabsahan penyidik KPK.

Padahal, hal tersebut dipandang Arsul bukan menjadi ranah kewenangan hakim praperadilan. Semestinya, hakim Haswandi cukup mempertimbangkan hanya terbatas dua alat bukti awal milik KPK. “Kuat atau tidak. Tapi tidak bisa menilai keabsahan penyidik, apalagi tidak mendengar keterangan saksi dan ahli dari DPR,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan, Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan UU perlu mendapat mendengar keterangan dari DPR terkait dengan risalah pembuatan UU tertent. Sebaliknya, hakim pengadilan negeri menafsirkan pasal dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa mendengar keterangan dari DPR.

“Jadi menurut saya keputusan untuk banding sudah tepat, dan itu memang harus,” ujarnya.

Dikatakan Arsul, majelis hakim banding nantinya mengoreksi putusan hakim Haswandi. Pasalnya pertimbangan hukum hakim Haswandi dinilai memiliki dampak yang luas terhadap proses penyidikan KPK. Pasalnya, penyidikan KPK yang dipersoalkan dalam pertimbangan hukum Haswandi sama halnya melumpuhkan lembaga antirasuah itu dalam pemberantasan korupsi.

“Sama saja KPK dibubarkan. Karena penyidikannya tidak sah. Kalau baca risalah UU KPK, itu memang memberikan kewenangan secara khusus oleh KPK untuk memiliki penyidik,” katanya.

Berbeda dengan Arsul dan Mulfachri, Wakil Ketua Komisi III lainnya Trimedya Pandjaitan menilai tak boleh pihak lain menilai putusan dari hakim pengadilan. Pasalnya putusan hakim merupakan keyakinan dan tanggungjawab kepada Tuhan. Lain halnya jika putusan hakim terindikasi politis.

“Mahkota dari hakim itu putusannya. Kalau kita lihat amar putusannya itu keyakinan hakim,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menilai apapun upaya hukum yang ditempuh menjadi hak KPK. Menurutnya, KPK dalam mengambil sikap untuk mengajukan upaya hukum lain telah mempertimbangkan berbagai hal. Makanya, pimpinan KPK dalam mengambil sikap tentunya telah menggelar rapat pimpinan.

“Itu hak KPK dengan segala berbagai pertimbangan hukumnya. Mereka tentu sudah menghitungnya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan telah memutuskan mengajukan upaya hukum banding setelah menggelar rapat pimpinan dengan tim hukum. Alasan mengajukan upaya hukum banding merujuk pada putusan MK terkait dengan Pasal 77 KUHAP mengenai perluasan obyek praperadilan.
Kendati demikian, upaya hukum banding dinilai Johan belum final.

“Di sisi lain Pasal 83 kalau kita analogikan bahwa penghentian sprindik sebagai objek praperadilan bisa dilakukan upaya banding. Terkait itu kami memutuskan upaya banding,” ujarnya, Senin (1/6) lalu.
Tags:

Berita Terkait