Tata Kelola Migas Dinilai Rugikan Negara
Berita

Tata Kelola Migas Dinilai Rugikan Negara

Aturan pengelolaan hulu dan hilir seharusnya dalam satu ketentuan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Foto: SGP
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Foto: SGP
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, berharap agar Pemerintahan Jokowi-JK dan DPR segera mengambil langkah-langkah bijak terkait UU Migas. Langkah bijak sangat diperlukan demi kedaulatan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Salah satunya, menurut Din adalah dengan terus membongkar mafia migas yang bercokol di SKK Migas.

Din juga menyayangkan, tim ekonomi era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak membawa perubahan. Ia melihat, kasus megakorupsi yang menyeret Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sama seperti ketika lembaga itu masih bernama BP Migas. Pasalnya, menurut Din, Presiden SBY saat itu hanya mengubah nama dari BP Migas menjadi SKK Migas.

Ia juga menambahkan, tidak boleh ada lagi lahan bagi para mafia migas untuk melakukan tindakan korupsi. Ini syarat mutlak untuk dapat mewujudkan Pasal 33 UUD 1945 yang isinya negara haruslah memakmurkan rakyat. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa jihad konstitusi yang diprakarsai Muhammadiyah tidak akan berhenti.

"Isinya sama, tidak melakukan perbuatan yang lain," katanya saat membuka diskusi publik 'Mendambakan UU Migas yang Konstitusional' di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (5/6).

Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi juga mengkritisi tata kelola migas saat ini karena cenderung merugikan negara secara finansial. Sebab, kegiatan hulu dan hilir di Indonesia oleh dua perusahaan yang berbeda. "Pengelolaannya BP Migas ke SKK Migas. Lembaga pemerintah tidak bisa melakukan kegiatan hilir. Tidak eligible," ungkapnya.

Kurtubi menilai, seharusnya kegiatan hulu dan hilir migas di Indonesia sebaiknya dilakukan oleh satu perusahaan negara, dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Ia menampik pendapat yang mengatakan bahwa seharusnya tata kelola migas diserahkan kepada SKK Migas.  "Harusnya perusahaan negara bukan pada lembaga pemerintah," imbuh dia.

Tugas Pertamina seharusnya mencakup seluruh apek pengelolaan potensi migas yang ada di Indonesia. Bahkan Kurtubi menyebut kebijakan pengelolaan yang diserahkan kepada pihak ketiga atau asing sebagai langkah yang bodoh. Indonesia rentan mengalami kerugian jika pengelolaan migas di dalam negeri dilakukan oleh pihak ketiga atau adanya asing yang turut mengelola migas di Indonesia. Sistem itu akan menciptakan sumur migas yang tidak akan mampu menambah penghasilan negara. Yang untuk hanya trader. "Ini membuka peluang lubang migas. Bodoh sekali bangsa ini kalau migas sendiri harus menunjuk trader," kecamnya.

Kurtubi mengatakan, pengelolaan migas Indonesia baik di hulu maupun hilir dinilainya sudah sangat salah. Pasalnya, negara-negara besar dan berkembang dalam dengan komoditas utama migas melakukan integrasi antara kegiatan hulu maupun hilirnya. "Perusahaan besar itu yang tereintegrasi antara hulu dan hilir. Enggak ada yang cuma hulu atau hilir saja," tegas Kurtubi.

Oleh karena itu, dia menyarankan, seharusnya ketentuan mengenai pengelolaan migas tidak dipisahkan. Sebagaimana diketahui, dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, aturan pengelolaan hulu dan hilir dipisah dalam dua ketentuan. Pengaturan itu tertuang dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). "Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tidak usah dipisah. Harus dikelola satu kesatuan perusahaan minyak yang tereintegrasi," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait