Pemerintah Tak Dukung Pandangan IKAHI
Utama

Pemerintah Tak Dukung Pandangan IKAHI

Pemerintah dan Pihak Terkait satu suara. Minta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan IKAHI.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Maria Farida Indrati (kanan). Foto: Humas MK
Maria Farida Indrati (kanan). Foto: Humas MK
Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) berpandangan bahwa keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam seleksi pengangkatan hakim bertentangan dengan konstitusi. IKAHI berpandangan keterlibatan KY itu mendegradasi peran IKAHI dalam menjaga independensi peradilan. Karena itu, IKAHI meminta pasal-pasal keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Namun, dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi terungkap, pandangan IKAHI tersebut tak mendapat dukungan dari Pemerintah. Mewakili Pemerintah di persidangan, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan IKAHI tersebut.

Wicipto menjelaskan keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim (SPH) adalah kebijakan pembentuk undang-undang yang  tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, keterlibatan KY dalam SPH tidak bisa dianggap sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman dan mencederai kemerdekaan atau kebebasan peradilan.  

“KY bukanlah lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, tetapi elemen pendukung dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa,” ujar Wicipto di gedung MK Jakarta, Senin (08/6).

Pemerintah mengacu pada putusan MK No. 005/PUU-VI/2006 yang tidak mengenal check and balances dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman antara MA dan KY, tetapi hubungan kemitraan (partnership) tanpa menganggu kemandirian masing-masing lembaga. Dikatakan Wicipto, pilihan kebijakan hukum itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Sehingga terpulang kepada pembentuk undang-undang dalam rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” ujar Wicipto.

Pemerintah juga berpandangan, keterlibatan KY dalam SPH di tiga lingkungan peradilan justru dapat menciptakan hakim yang berintegritas, tidak tercela, adil, dan profesional. Dengan begitu, tujuan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 dapat tercapai. Kehadiran KY lembaga pengawas eksternal diharapkan dapat membuat peradilan berjalan transparan, akuntabel dan imparsial. Karena itu, pemerintah meminta majelis hakim MK untuk menyatakan menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima.

Pihak Terkait
Dalam persidangan ini, perwakilan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) sebagai pihak terkait menyampaikan hal senada. Sebagai Pihak Terkait, FKHK dan GMHJ berpandangan peran KY dalam SPH tidak melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin Pasal 24 ayat (1)  UUD 1945.

Pelibatan pihak ketiga tidak otomatis sebagai intervensi. “Proses seleksi calon hakim agung saja melibatkan KY dan DPR. Selain itu, proses pemilihan hakim MK saja berdasarkan representasi dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi independensi hakim agung dan hakim MK tidak terganggu,” ujar ucap Kepala Divisi Hukum FKHK, Okta Heriawan dalam persidangan.

Menurutnya, peran KY dalam SPH di tiga lingkungan sudah sesuai amanat Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat hakim sedari awal. Sebab, tugas menjaga kehormatan, keluhuran martabat hakim memiliki hubungan dengan proses pengangkatan hakim sebagai upaya preventif KY sejak awal.

“Kami anggap permohonan para pemohon dari IKAHI tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus ditolak atau tidak diterima. Kita berharap tetap libatkan KY dalam proses SPH,” tegas Okta Heriawan dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman itu.

Sebelum menutup persidangan, Anwar Usman memberi kesempatan pemohon untuk mengajukan tiga ahli yang akan didengar keterangannya pada persidangan berikutnya. “Sidang selanjutnya digelar pada Senin (15/6) untuk mendengarkan keterangan ahli dari pemohon,” ujar Hakim Anwar menutup persidangan.

PP IKAHI mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags: