Inilah Tiga Kebijakan Andalan Perpajakan
Berita

Inilah Tiga Kebijakan Andalan Perpajakan

Kebijakan ini pasti berdampak pada penerimaan pajak. Tetapi Pemerintah ingin mempermudah pengawasan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (batik, depan). Foto: RES
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (batik, depan). Foto: RES
Pemerintah tak hanya punya pekerjaan rumah menggenjot penerimaan pajak, tetapi juga mempercepat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sejauh ini pajak menjadi andalan mengisi pundi-pundi APBN.

Sehubungan dengan itu pemerintah mengeluarkan tiga kebijakan andalan di bidang perpajakan. Pertama, kebijakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) selain kendaraan bermotor. Aturan ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 130/PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah menganggap perlu melakukan penghapusan atas sebagian barang selain kendaraan bermotor dari objen PPnBM. Sebab, sebagian besar barang yang yang tergolong mewah dalam PMK sebelumnya sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai akibat perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi.

Pada saat yang sama, Pemerintah juga berusaha menjaga daya beli masyarakat di tengah gejala perlambatan ekonomi. Pemerintah juga terus mendorong tumbuhnya industri dalam negeri atas produk-produk yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri guna mengurangi kecenderungan masyarakat membeli barang luar negeri.

Menteri Bambang juga menyebut kesulitan mengawasi pemenuhan kewajiban pajak atas barang mewah tersebut. “Penghapusan PPnBM atas sebagian barang yang pemenuhan kewajibannya sulit diawasi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) yang nanti akan berdampak positif pada optimalisasi penerimaan perpajakan secara umum,” kata Bambang dalam sebuah diskusi di Ditjen Pajak, Kamis (11/6) lalu.

Barang kena pajak selain kendaraan bermotor yang dipertahankan, adalah objek PPnBM yang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan sangat tinggi. Penerimaan pajaknya juga cukup efektif karena relatif mudah untuk dilakukan pengawasan. “Atau mengusik rasa keadilan bila turut dihapuskan misalnya hunian mewah, pesawat, kapal pesiar dan yacht dan senjata api,” tuturnya.

Harapannya, kebijakan penghapusan sebagian besar objek PPnBM dapat membantu menjaga stabilitas perekonomian dalam jangka pendek dan selanjutnya dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dalam jangka panjang.

Kedua, kebijakan pemungutan PPh Pasal 22. Tujuannya, jelas Bambang, meningkatkan kepatuhan pemenuhan perpajakan WP, khususnya yang bergerak di bidang usaha tertentu melalui mekanisme pemotongan/pemungutan PPh. Untuk mengimbangi kebijakan PPnBM, maka tarif pemungutan PPh 22 atas impor barang tertentu tersebut perlu disesuaikan guna mengurangi dampak impor atas barang yang dihapuskan pengenaan PPnBM.

Adapun pokok-pokok dari kebijakan ini adalah memperluas penunjukan pemungut PPh dan objek pemungutan PPh 22 serta menaikkan tarif pemungutan PPh 22 atas impor yang dihapuskan pengenaan PPnBM-nya menjadi 10 persen atas beberapa kelompok barang. Misalnya, peralatan elektronik seperti (AC, lemari es, mesin cuci, TV, dan kamera), alat olahraga (pancing, peralatan golf, selam dan selancar), alat musik (piano, alat  music elektrik), branded goods (pakaian, parfum, aksesoris, tas, arloji, barang dari logam), dan perabot rumah tangga dan kantor seperti karpet, kasur, furniture, porselin dan Kristal.

Ketiga, kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu (tax allowance), sebagaimana diatur dalam PP No. 18 Tahun 2015.

Fasilitas PPh badan yang diberikan berdasarkan PP ini meliputi pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha, dibebankan selama enam tahun masing-masing sebesar 5 persen per tahun,  dihitung sejak mulai berproduksi secara komersial. PP juga mengatur penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka penanaman modal baru dan/atau perluasan usaha.

Fasilitas ini juga diberikan terhadap pengenaan pajak penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada WP luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10 persen. Atau, tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku, dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun.

Fasilitas PP No. 18 Tahun 2015 juga diberikan bagi izin prinsip penanaman modal yang diterbitkan sejak 6 Mei 2015 atau sejak 22 Desember 2011 sampai 5 Mei 2015. Syaratnya, antara lain sepanjang terhadap izin prinsip tersebut belum pernah diterbitkan SK persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas tax allowance, dan memiliki kesesuaian bidang usaha.

Bambang menjelaskan, kebijakan perpajakan terkait tax allowance memberikan relaksasi kepada WP dalam negeri yang memiliki nilai investasi yang lebih tinggi untuk ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar dan memiliki kandungan lokal yang tinggi. “Selain itu, adanya tambahan pilihan kompensasi yang lebih lama dari llima tahun, tapi tidak lebih dari sepuluh tahun,” ungkapnya.

Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengakui penghapusan pajak PPnBM akan berdampak. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar Rp800 triliun hingga Rp900 triliun. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini akan mendatangkan keuntungan yang besar karena adanya peningkatan konsumsi dan secara langsung juga meningkatkan pelaporan.

“Kita kehilangan segitu, tapi dapatnya juga segitu. Jadi tidak ada kehilangan sebenarnya. Lalu konsumsi akan tinggi. Dengan cara ini bisa lebih mudah pengawasannya,” pungkasnya.
Tags: