Pelaku Kawin Campur akan Bersaksi dalam Sidang
Uji UUPA dan UU Perkawinan:

Pelaku Kawin Campur akan Bersaksi dalam Sidang

Pemohon ingin mengajukan saksi pelaku perkawinan campuran. Majelis hakim masih harus membahas dibawa atau tidaknya ke sidang pleno.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ike Farida selaku Pemohon didampingi kuasa hukumnya saat menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan dalam sidang uji materi UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Rabu (24/6). Foto: Humas MK
Ike Farida selaku Pemohon didampingi kuasa hukumnya saat menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan dalam sidang uji materi UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Rabu (24/6). Foto: Humas MK
Pemohon uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) berencana menghadirkan beberapa pelaku kawin campur dalam persidangan berikutnya. Hal ini dalam rangka memperkuat dalil permohonan bahwa ketentuan yang diuji menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku kawin campur lantaran tidak bisa membeli rumah.

“Nantinya, saya akan hadirkan beberapa orang anggota Perca Indonesia (organisasi perkawinan campuran, RED) yang mengalami nasib serupa seperti dialami pemohon,” ujar pemohon, Ike Farida dalam sidang perbaikan pengujian UU Agraria dan UU Perkawinan di ruang sidang MK, Rabu (24/6).

Ike memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI, serta Pasal 29 ayat (1), (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama.

Ike melanjutkan permohonan ini memperoleh dukungan dari Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca Indonesia). Sebab, persoalan ini sudah menjadi masalah sosial yang tidak bisa diabaikan dalam sistem hukum Indonesia. “Kami sedang mengumpulkan petisi dukungan dari WNI yang kawin dengan WNA. Ini untuk memperkuat dalil permohonan pemohon,” tegasnya.

Persoalan krusial dalam pasal-pasal itu muncul ketika WNA menikah dengan WNI, lalu WNI hendak membeli rumah berstatus hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) akan selalu dihadapkan pada ketentuan “harta bersama” yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. “Jadi ketika seseorang (WNI) membeli itu (rumah), sudah separuh dianggap milik asing. Atau, tidak bisa membeli kalau tidak punya perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelumnya,” kata Ike.

Hanya saja, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Agraria menyebutkan WNA berhak mendapat warisan tanpa wasiat (HM) atau karena ada percampuran harta bersama. Namun, bagi WNI yang hendak mempunyai HM dalam perkawinan campuran, hak itu lahir sejak diperolehnya HM itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

“Nah, frasa ‘sejak diperoleh hak’ itu dihitung bukan saat perceraian, tetapi ketika WNI  atau pasangannya itu membeli rumah seketika separuhnya punya WNA. Makanya, dalam waktu satu tahun hak itu harus dilepas. Ini artinya ujung-ujungnya kan tidak bisa beli membeli rumah juga,” paparnya.

“Ada ketidakpastian hukum dalam Pasal 21 ayat (1), (3), Pasal 36 ayat (1) UU Agraria dan Pasal 29 ayat (1), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Karena itu, kita minta pasal-pasal itu dimaknai (ditafsirkan) oleh MK,” harapnya.

Ditambahkan Ike, siapapun WNI yang menikah WNA, apakah laki-laki Indonesia menikah dengan wanita asing atau sebaliknya selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Faktanya pun bagi pasangan kawin campur yang sudah punya perjanjian pemisahan harta tidak bisa membeli rumah juga karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun.

“Kasus ini pernikahannya sah, tetapi tidak bisa beli (rumah). Dalam praktiknya ada syaratnya satu, kita diminta bercerai dulu, setelah cerai buat perjanjian kawin, baru menikah lagi,” katanya.

Spesifik, dalam petitum permohonan, pemohon meminta MK agar frasa “WNI” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) UU Agraria inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “WNI tanpa terkecuali”, sehingga tidak menghilangkan haknya memperoleh HM atau HGB. Pasal 21 ayat (3) khususnya frasa “sejak diperoleh hak” dimaknai “sejak kepemilikan hak beralih”.

Selain itu, frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan…” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan minta dihapuskan, sehingga turut menghapus frasa selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4). Frasa ‘…Harta Bersama’ dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dimaknai tidak meliputi HM atau HGB.

Ketua Majelis Panel Anwar Usman mengatakan hasil sidang pendahuluan ini akan disampaikan dalam Rapat Permusyarawatan Hakim (RPH) untuk menentukan apakah permohonan ini berlanjut ke sidang pleno atau tidak. “Nantinya akan kita beri tahu melalui Kepaniteraan Mahkamah,” tutupnya.

Pemohon menikah secara sah dengan WNA berkewarganegaraan Jepang di KUA Kecamatan Makassar, Jakarta Timur pada Agustus 1995 dan dilaporkan di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta pada Mei 1999. Selama perkawinan campuran ini, Ike tidak pernah melepaskan status kewarganegaraannya, tetap memilih WNI, dan tetap tinggal di Indonesia.

Pada September 2012, ketika melakukan perjanjian pembelian rumah susun di Jakarta, akad pembelian dibatalkan sepihak oleh pengembang dengan dalih suaminya WNA dan tidak memiliki perjanjian perkawinan sebelumnya. Padahal, Pemohon telah membayar lunas rumah susun tersebut.

Pengembang berdalih sesuai Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, seorang perempuan WNI yang menikah dengan WNA dilarang membeli rumah dengan status HGB, sehingga pengembang membatalkan perjanjian jual beli rumah susun ini. Hal ini dikuatkan oleh penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada November 2014 yang membatalkan surat pesanan dengan alasan tidak memenuhi syarat objektif perjanjian sesuai Pasal 1320 KUH Perdata karena melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPA.
Tags:

Berita Terkait