Calon Hakim Agung Ini Takut Pengadilan Akhirat
Berita

Calon Hakim Agung Ini Takut Pengadilan Akhirat

Selain terikat kode etik dan larangan UU, juga terikat sumpah atas nama Tuhan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Salah satu calon hakim agung saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan sejumlah anggota Komisi III DPR. Foto: RES
Salah satu calon hakim agung saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan sejumlah anggota Komisi III DPR. Foto: RES
Prinsip untuk tidak menerima suap dalam menjalani profesi sebagai seorang hakim menjadi pegangan. Tak saja profesionalisme, namun kejujuran menjadi hal terpenting dalam memberikan pelayanan terhadap para pencari keadilan. Karena itulah, dalam setiap  putusan selalu menyebut nama Tuhan. Hal itu diungkapkan calon hakim agung Sunarto  saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan sejumlah anggota Komisi III DPR, Selasa (30/6).

Selain terikat dengan kode etik dan independensi hakim, tidak menerima suap juga menjadi larangan dalam setiap agama. Hal itu menjadi pegangan Sunarto. Menurutnya, selain pengadilan dunia, masih terdapat pengadilan akhirat kelak yang akan menjadi tempat untuk menyidangkan amal perbuatan setiap manusia. “Sebab, setelah pengadilan ini ada pengadilan akhirat,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menguji konsistensi Sunarto. Menurut Benny, jika terdapat perkara yang sudah diputus, kemudian pihak berpekara memberikan ucapan terima kasih, dalam budaya timur menolak pemberian adalah tidak sopan. “Apakah kalau ada kasus demikian jika anda menjadi hakim agung nanti akan menerima ucapan terima kasih?,” ujarnya.

Sunarto yang tercatat menjabat Kepala Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung itu menyatakan tegas akan menolak pemberian tersebut. Ia beralasan, penolakan tersebut selain terikat kode etik juga lantaran dilarang oleh UU. Sebagai aparat penegak hukum, dilarang menerima sesuatu yang dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi. Terlebih, seorang hakim sudah mendapatkan gaji dan remunerasi dari negara.

Anggota Komisi III Jhon Kennedy Aziz tergelitik dengan makalah Sunarto. Menurutnya, dalam makalah tersebut terdapat pernyataan Sunarto yang menyatakan tidak pernah menerima atau meminta uang dari pihak berpekara. Atas dasar itulah Sunarto ditempatkan menjadi Kepala Bawas.

“Kalau ditawari pernah tidak, lalu apa yang anda lakukan,” kata politisi Golkar itu.

Sunarto menegaskan pernah mendapatkan tawaran. Hanya saja Sunarto dengan tegas menolak. Menurutnya, sebagian seorang hakim telah terikat dengan sumpah jabatan dan profesi hakim kepada Tuhan. Sepanjang puluhan tahun berkarir menjadi seorang hakim, Tuhan menjadi pegangan Sunarto dalam menjajaki profesi yang penuh dengan godaan suap tersebut.

“Karena saya disumpah atas nama Tuhan, dan itu akan saya jaga terus. Saya akan pegang terus untuk tidak menerima suap sepanjang karir saya,” katanya.

Lebih jauh, Sunarto berpandangan keadilan berada di dalam sanubari. Dalam memutus suatu perkara, ia akan berdialog dengan hati sanubari, disamping dengan bukti di persidangan. Ia menilai hati sanubari tidak akan pernah berbohong. Hal itu pula menjadi prinsip Sunarto dalam menjalani profesi sebagai seorang hakim dan Kepala Bawas. “Itu prinsip, kita mengolah dan terintegrasi antara kualitas ilmu hukum dengan hati,” ujarnya

Tak setuju perberat putusan kasasi
Terhadap putusan kasasi yang cenderung lebih berat dibanding dengan hukuman di tingkat pertama dan banding menjadi sorotan Sunarto. Meski menghormati putusan hakim atas perberat putusan di tingkat kasasi, Sunarto menyatakan ketidaksetujuannya. Alasan ketidaksetujuannya lantaran dalam KUHAP, majelis kasasi tidak dapat memperberat hukuman atas putusan di tingkat sebelumnya.

Misalnya, kata Sunarto, dalam kasus korupsi. Terhadap koruptor yang dihukuman lebih berat di tingkat kasasi bukan menjadi solusi. Ia berpandangan dari aspek keadilan dinilai tidak pas. Pasalnya terpidana korupsi memiliki keluarga yang membutuhkan biaya penghidupan. Selain itu, dengan lamanya penghukuman, bakal menambah beban negara.

“Dari keadilan juga tidak pas dihukum berat, kan mereka ada anak yang butuh penghidupan, dan negara juga dirugikan kalau terlalu lama. Karena penhukuman itu untuk pembinaan. Saya menghargai pendapat hukum Pak Artidjo Alkostar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait