KPK Klarifikasi Bukti Rekaman di Sidang MK
Berita

KPK Klarifikasi Bukti Rekaman di Sidang MK

Kuasa hukum pemohon menganggap KPK secara kelembagaan memang tidak mau menyerahkan bukti rekaman itu.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
KPK Klarifikasi Bukti Rekaman di Sidang MK
Hukumonline
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepis adanya bukti rekaman dugaan kriminalisasi KPK yang selama ini beredar di media massa atau dalam sidang uji materi ketentuan pemberhentian sementara Pimpinan KPK oleh Pimpinan KPK nonaktif Bambang Widjojanto. Pernyataan itu disampaikan kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang saat memberi keterangan sebagai pihak terkat dalam sidang lanjut pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi.

“Perihal surat tanggal 5 Juni 2015 yang meminta MK agar KPK menyampaikan rekaman bukti kriminalisasi. Kami tidak memahami rekaman bukti ancaman, kriminalisasi, intimidasi yang dimaksudkan kuasa hukum pemohon. Sebab, sesuai Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK, kami hanya berwenang melakukan penyadapan terkait kasus pidana korupsi,” kata Rasamala saat menyampaikan keterangannya di ruang sidang MK, Selasa (30/6).

Dia menegaskan selama ini pimpinan KPK tidak pernah memerintahkan melakukan penyadapan terkait intimidasi, kriminalisasi, atau ancaman yang dimaksud. Penyadapan itu hanya dilakukan sepanjang menyangkut penanganan perkara  tindak pidana korupsi. “Dalam hal terdapat rekaman kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman itu dilakukan orang per orang kepada orang per orang, seharusnya permintaan rekaman itu langsung kepada yang bersangkutan, bukan kepada lembaga KPK,” tutur Rasamala.

“Kalau ada personal yang melakukan perekaman di luar penanganan perkara, itu menjadi tanggung jawab personal. Tidak ada perintah pimpinan terkaiat rekaman penyadapan, kpk tidak melakukan itu,” lanjutnya.

Saat ditanya, bukan berarti rekaman yang dimaksud tidak ada, Rasamala menegaskan pimpinan KPK secara kelembagaan hanya menyadap terkait perkara tipikor, di luar itu tidak pernah ada penyadapan. “Saya kira itu bisa diklarifikasi langsung kepada kuasa hukum pemohon,” ujarnya.

Sementara kuasa hukum pemohon, Abdul Fickar Hajar menganggap bukti-bukti rekaman kriminalisasi KPK bukan menjadi rahasia umum atau terbuka. Sebab, beberapa waktu sudah dimuat media massa, seperti dimuat Majalah Tempo. Karena itu, pihaknya berharap diperkenankan untuk bisa menghadirkan bukti-bukti yang dimaksud.

“Saudara diberi kesempatan mengajukan bukti tambahan. Lalu, hari ini surat Saudara ke MK sudah direspon dan mendapatlan klarifikasi itu, sehingga rangkaian persidangan permohonan ini udah selesai. Pemohon, pemerintah, dan pihak terkait bisa menyerahkan kesimpulan dan bukti tambahan. Kita tunggu paling lambat Rabu (8/7) besok,” kata Arief sebelum menutup sidang.

Abdul Fickar melanjutkan keterangan KPK dalam persidangan mengartikan KPK secara kelembagaan memang tidak mau menyerahkan bukti rekaman itu. “Fakta itu ada cuma memang KPK tidak mau memberikan. Lalu, fakta itu itu pernah dilaporkan ke presiden dan Komnas HAM. Jd ada itu barangnya. Tetapi, tidak tahu kenapa di pengadilan ini KPK kebijakannya tidak mau mmberikan,” keluhnya usai persidangan.

Asfinawati, kuasa hukum Bambang lainnya, mengatakan poin surat KPK hanyalah permainan kata-kata. “Intinya, mereka tidak mau menyerahkan, tetapi sebenarnya rekaman itu ada. Apalagi pimpinan KPK tidak ada yang datang?” kata Asfinawati.

Pihaknya menyadari betul rekaman (penyadapan) yang dilakukan KPK hanya menyangkut penanganan perkara tipikor. Namun, dalam rekaman tipikor pasti ada penghalang-halangan dalam proses penyidikan korupsi. “Di seluruh dunia pemberantasan korupsi tidak lepas dari upaya teror atau intimidasi, ini sudah pasti ada. Kami minta rekaman apapun itu penyidikan penyelidikan KPK terkait dengan pemberantasan tipikor pasti ada penghalang-halangan.”

“Bahkan, MK pun sudah memberi jalan keluar, kalau barang ini dianggap tidak pantas didengarkan dalam persidangan yang terbuka, bisa didengarkan secara tertutup dalam rapat pleno permusyawaratan hakim (RPH). Tetapi, kenapa peluang itu tidak bisa ditangkap pimpinan KPK,” keluhnya.

Sebelumnya, MK memang sudah menjadwalkan untuk meminta klarifikasi KPK agar bukti rekaman mengenai upaya kriminalisasi KPK diperdengarkan baik secara terbuka maupun tertutup. Permintaan klarifikasi ini sesuai permintaan kuasa hukum pemohon pada 5 Juli 2015 yang meminta MK untuk membuka bukti rekaman kriminalisasi KPK.

Lewat tim kuasa hukumnya, BW mempersoalkan Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika berstatus tersangka seperti yang dialami BW. Dia menganggap ketentuan itu diskriminatif karena memberi perlakuan berbeda antara pimpinan KPK dengan pejabat negara lain. Misalnya, ketika pimpinan KPK menjadi tersangka membuat mereka diberhentikan sementara yang bersifat tetap.

Sebaliknya, pejabat negara lain, pemberhentian sementara dilakukan ketika status pejabat yang bersangkutan sudah berstatus terdakwa atau setelah ada putusan inkracht. Misalnya, hakim konstitusi atau ketua dan wakil ketua BPK diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana lima tahun lebih.

Dia meminta MK memberi tafsir konstitusional agar frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dimaknai dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK khusus terhadap jenis tindak pidana berat, seperti korupsi, terorisme, makar atau yang mengancam keamanan negara. Lalu, penetapan tersangkanya setelah mendapatkan persetujuan dari presiden.
Tags:

Berita Terkait