Ini Alasan Buruh Tetap Tolak Iuran Pensiun Tiga Persen
Berita

Ini Alasan Buruh Tetap Tolak Iuran Pensiun Tiga Persen

PP Jaminan Pensiun dan PP Jaminan Hari Tua yang diterbitkan pemerintah dinilai tidak mengakomodasi kepentingan buruh.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh. Foto: SGP
Demo buruh. Foto: SGP
Serikat pekerja yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menolak ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Pensiun (JP) dan PP Jaminan Hari Tua (JHT) yang diterbitkan pemerintah beberapa waktu lalu. Mengapa?

Alasannya, seperti disampaikan Presiden KSPI, Said Iqbal, program-program yang digulirkan pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan buruh. Per 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan beroperasi. Program jaminan adalah Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).

Kebijakan yang dibuat pemerintah, klaim Said Iqbal, malah memberatkan kalangan pekerja. Misalnya, dalam program JP besaran iuran yang ditetapkan pemerintah 3 persen yang kontribusinya terdiri dari 2 persen ditanggung pemberi kerja dan 1 persen pekerja. Manfaat yang nanti diterima sekitar 15-40 persen dari rata-rata upah pekerja.

Untuk program JHT, dikatakan Iqbal, direksi BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan kebijakan yang memberatkan buruh. Manfaat JHT baru bisa diambil peserta jika masa kepesertaannya paling minim 10 tahun. Jumlah yang bisa diambil pun terbatas yakni 10 persen dari dana JHT milik peserta yang bersangkutan.

“Serikat buruh menolak isi Peraturan Pemerintah tentang JP dan PP tentang JHT karena proses pembentukannya mengabaikan aspirasi kalangan buruh dan tidak mempedulikan pendapat DJSN,” kata Iqbal dalam jumpa pers yang diselenggarakan GBI di Jakarta, Kamis (02/6).

Iqbal menjelaskan, sejak awal serikat pekerja menuntut besaran iuran JP 10-12 persen dengan manfaat minimal 60 persen dari rata-rata upah terakhir. Tuntutan ini sudah disampaikan dalam rapat di lembaga kerjasama tripartit nasional (Tripnas). Dalam rapat itu Apindo mengusulkan besaran iuran JP 5 persen. Tapi ketika Kementerian Keuangan mengusulkan besaran iuran JP 3 persen, Apindo menurunkan usulan besaran iuran JP menjadi 1,5 persen.

Iqbal mengatakan mestinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengacu konsep dan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dalam menentukan besaran iuran dan manfaat JP. Ia mencatat DJSN dan Kemenaker menghitung besaran iuran JP yang tepat di masa awal yakni 8 persen.

Dengan manfaat JP sebesar 15-40 persen dari rata-rata upah sebulan, Iqbal mengatakan PP JP telah memunculkan diskriminasi. Manfaat pensiun yang diterima PNS, Polri dan TNI sekitar 75 persen dari rata-rata upah terakhir. Sedangkan mengacu PP JP, pekerja swasta hanya menerima 15-40 persen dari rata-rata upah sebulan. Dengan presentase tersebut, maka paling minim pekerja swasta akan menerima pensiun sekitar Rp300 ribu setiap bulan.

Iqbal mengingatkan, JP digelar dalam rangka mencegah agar buruh yang pensiun tidak jatuh miskin. Sebab, ketika pensiun buruh akan kehilangan pendapatannya. Manfaat yang diterima juga harus dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya. “Kalau kita hari ini menerima pensiun setiap bulan Rp300 ribu itu nilainya sama dengan Rp 25 ribu dalam 30 tahun ke depan,” ujarnya.

Iqbal mensinyalir ada pihak-pihak yang tidak ingin BPJS Ketenagakerjaan menjadi lembaga yang kuat dalam mengelola dana pensiun. Sebab, dana pensiun yang terkumpul nanti jumlahnya cukup besar. Dengan dana tersebut, BPJS Ketenagakerjaan bisa menjadi lembaga fiskal yang kuat sehingga pemerintah tidak perlu meminjam uang dari luar negeri untuk melakukan pembangunan. Menurutnya, itu yang dilakukan China dan Korea Selatan yakni menggunakan dana pensiun yang terkumpul untuk berinvestasi dan membangun ekonomi negaranya.

Selain itu Iqbal mencatat besaran iuran JP 3 persen tergolong paling rendah diantara negara asia lainnya. Seperti Singapura 33 persen, China 28 persen dan Malaysia 23 persen.

Selaras itu Iqbal menuntut agar Presiden Jokowi mencopot Menaker, Hanif Dhakiri, karena tidak mampu mendorong besaran iuran JP 8 persen dengan manfaat paling rendah 60 persen dari rata-rata upah terakhir. Juga mencopot Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, karena tidak konsisten dalam mendorong besaran iuran JP. Awalnya, Iqbal melihat Elvyn mengusulkan besaran iuran JP 15 persen, lalu turun jadi 8 persen dan akhirnya menyepakati 3 persen.

Anggota DJSN dari unsur serikat buruh, Subiyanto, mengatakan sejak awal DJSN mengusulkan iuran JP 8 persen dengan manfaat mencapai 60 persen. Usulan ini sudah dibahas. Dalam pembahasan, Kemenkeu malah mengusulkan besaran iuran JP 3 persen. Dalam pembahasan lebih lanjut, Apindo lewat aktuaria yang diutusnya mengusulkan besaran iuran JP 1,5 persen. Ironisnya, besaran iuran yang diusulkan serikat pekerja yakni 10-12 persen tidak diperhatikan pemerintah. “Besaran iuran itu berkorelasi dengan manfaat yang diterima peserta. Semakin kecil iuran maka semakin kecil manfaat yang akan diperoleh,” papar Subiyanto.

Sebelumnya, Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pengusaha berharap besaran iuran JP paling tinggi 3 persen. Menurutnya, jika besaran iuran lebih dari 3 persen akan menimbulkan persoalan berat. Baginya, yang paling penting besaran iuran JP harus mampu diserap pengusaha. Sehingga peluang pemberi kerja dan pekerja untuk ikut dalam program JP terbuka lebar.

Jika besaran iuran JP 8 persen, pemberi kerja akan kesulitan. Besaran itu akan menyulitkan pemberi kerja dan pekerja untuk ikut dalam program JP. “Menurut saya usulan besaran JP 8 persen itu terlalu agresif dan sangat mendistorsi kekuatan sektor riil kita,” kata Hariyadi.
Tags:

Berita Terkait