Keterlibatan KY Seleksi Cakim Dinilai Tak Bertentangan dengan Konstitusi
Berita

Keterlibatan KY Seleksi Cakim Dinilai Tak Bertentangan dengan Konstitusi

Dalam politik perundangan-undangan, sepanjang tidak diatur dalam UUD secara eksplisit maka menjadi open legal policy. Dengan kata lain, pembuat UU yakni DPR dan presiden memiliki kesempatan terbuka mengatur norma dalam UU.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Langkah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengajukan uji aturan yang memberi wewenang Komisi Yudisial (KY) terlibat dalam Seleksi Pengangkatan Hakim (SPH) bersama Mahkamah Agung (MA) di tiga lingkungan peradilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) semesti tidak dilakukan.

Pasalnya, penyelesaian persoalan tersebut dapat dilakukan dengan duduk bersama tanpa menguji ke MK. Terlebih, keterlibatan KY dalam SPH tidak bertentangan dengan konstitusi. Demikian disampaikan anggota Komisi III Arsul Sani di Gedung DPR, Kamis (2/7).

Ia menilai dalam Pasal 24 B UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan keterlibatan KY dalam rekruitmen hakim. Sama halnya, tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang menyebutkan rekruitmen hanya dapat dilakukan oleh MA. Dengan begitu, terbuka keterlibatan MA dan KY dalam melakukan rekruitmen cakim.

“Iya, artinya terbuka. Kalau terbuka itu diperbolehkan. Yang tidak boleh itu misalnya KY diberi kewenangannya juga mereview atau dia menjadi juga menilai putusan atau satu tingkat dia atas peradilan, karena dia bisa mereview banyak hal,” ujarnya.

Menurutnya, dari aspek DPR, dalam politik perundangan-undangan sepanjang tidak diatur dalam UUD secara eksplisit maka menjadi open legal policy. Dengan kata lain, pembuat UU yakni DPR dan presiden memiliki kesempatan terbuka mengatur norma dalam UU.

“Nah, kami melihatnya itu tidak bertentangan dengan UUD, hanya tidak diatur secara eksplisit dalam UUD,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu lebih jauh berpandangan  terdapat hal poisitif atas keterlibatan KY dalam perekrutan cakim. Ia menilai prinsip dalam perekrutan aparatur negara yang dilakukan single institusi dimungkinkan terjadi praktik kolusi dan nepotisme. Nah dengan melibatkan KY setidaknya dapat mencegah kecurigaan adanya proses rekruitmen yang tidak jujur dan kolutif serta nepotisme.

“Karena itulah kenapa DPR meloloskan UU KY seperti itu,” imbuhnya.

Pria berlatar belakang advokat ini lebih lanjut berpandangan dengan menilik memorie van toelichting ketika DPR membuat UU dengan melibatkan KY dalam perekrutan cakim. Tujuannya itu tadi, agar tidak terjadi kolusi dan nepotisme. Nah, jika persoalan mandegnya perekrutan cakim karena keterlibatan KY, hal tersebut dinilai bukan masuk ranah konstitusi.

“Ini bukan persoalan konstitusional, ini persoalan kemampuan sinergisitas, kemampuan lembaga negara dalam hal ini KY dan MA agar  perekrutan hakim menjadi lebih baik,” ujarnya.

Kendati demikian Arsul berprasangka baik terhadap niat IKAHI mengajukan uji materi Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2),(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya tujuan IKAHI menguji sejumlah pasal itu agar rekruitmen hakim tidak terhenti. Kendati demikian, Arsul menyatakan ketidaksepakatan terhadap uji materi tersebut.

“Tetapi jalan ketika untuk mengatasi stagnan ini dengan judicial review menurut saya, saya kurang sepakat. Karena di situ tidak ada masalah konstitusionalitas norma UU KY terhadap norma Pasal 24 B UUD. Stagnan itu harus diatasi dengan KY  dan MA duduk bersama,

Anggota Komisi III lainnya, Nasir Djamil berpandangan KY dan MA diharapkan tidak mengedepankan ego sektoral siapa yang berhak merekrut cakim. Menurutnya kedua lembaga itu mesti mengedepankan cara mendapatkan cakim yang jujur, berintegritas dan bertanggungjawab.

“Jadi kalau masing-masing mengedepankan pendekatan kekuasaan yah tidak ketemu. Kalau masing-masing mengedepankan pendekatan kekuasaan yah ujungnya ke MK. Tetapi kalau kedua belah pihak mengedepankan untuk mendapatkan hakim yang jujur, kredibel, amanah, saya pikir akan klop,” ujarnya.

Nasir mengamini pandangan Arsul. Menurutnya, keterlibatan KY sejatinya meminimalisir terjadinya perekrutan cakim dengan cara –cara kolusi dan nepotisme. Ia menilai peran KY dalam perekrutan cakim menjadi penting demi mendapatkan personil hakim yang berintegrasi.

“Jadi peran KY penting dan bisa diharapkan bisa menjaga jangan sampai yang menjadi hakim itu keluarga-keluarganya, dan kerabat-kerabat  dekatnya,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu lebih jauh berpandangan semestinya IKAHI tak melakukan uji materi. Sebaliknya, mereka dapat berkonsultasi dengan DPR selaku pembentuk UU. Pasalnya DPR memiliki risalah pembentukan UU hingga akhirnya melibatkan KY dalam perekrutan cakim. Jika persoalan tersebut tidak segera diambil langkah bijak bakal berkepanjangan ke depannya.

“Saya pikir menurut saya DPR perlu memberikan perhatian soal ini, artinya  mengundang untuk masalah ini dan sebagainya. Mungkin bukan komisi III, tapi pimpinan DPR, panggil saja mereka ini ada apa. Karena kita ingin ke depan wajah peradilan kita lebih baik sehingga  rekomenya kalau yang masuk sampah yang keluar juga sampah,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, Pengurus Pusat IKAHI mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohonpengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2),(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags:

Berita Terkait