Larangan Eks Terpidana dalam Pilkada Kembali Digugat
Utama

Larangan Eks Terpidana dalam Pilkada Kembali Digugat

Mahkamah Konstitusi berjanji akan memutus pengujian Pasal 7 huruf g UU Pilkada ini dalam permohonan sebelumnya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon, Al Latifah Fardhiyah. Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon, Al Latifah Fardhiyah. Foto: Humas MK
Dua eks narapidana mengadukan nasibnya ke Mahkamah Konstittusi (MK) lewat uji materi Pasal 7 huruf g dan o UU No. 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) terkait larangan mantan terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka adalah Ismeth Abdullah dan I Gede Winasa yang merupakan terpidana kasus korupsi saat menjabat sebagai kepala daerah.

Ismeth merupakan mantan Gubernur Riau (2005-2010) pernah divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2010 dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sedangkan, I Gede Winasa, mantan Bupati Jembrana Bali, pun pernah divonis 2,5 tahun di tingkat kasasi pada 2013 lantaran terbukti menyalahgunakan wewenang dengan mengajak pihak swasta dalam proyek pabrik pengelolaan sampah (kompos) tanpa melalui tender.

Keduanya menganggap ketentuan tersebut menghalangi hak konstitusional mereka untuk maju dalam ajang Pilkada serentak Desember mendatang. Larangan semacam itu mereka anggap sebagai bentuk pelanggaran hak fundamental warga negara yang dijamin konstitusi.

“Para pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945 agar bisa mengikuti pemilihan kepala daerah,” ujar kuasa hukum Para Pemohon, Ayu Latifa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (02/7) kemarin.

Pasal 7 huruf g UU Pilkada menyebutkan warga negara Indonesia bisa mengajukan diri sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah jika memenuhi syarat… (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun penjara. Huruf (o) belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, dan walikota untuk calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota.

Ayu beralasan seorang narapidana yang telah selesai menjalani masa hukuman seharusnya memiliki hak-hak yang sama seperti warga negara lain. Ditegaskan Ayu, hak untuk dipilih dan hak untuk memilih merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Ketentuan itu bentuk perlakuan diskriminasi.

“Selain dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945, perlindungan terhadap hak politik warga negara juga diatur dalam UU Hak Asasi Manusia dan berbagai konvensi internasional,” imbuhnya.

Pernah diputus
Menanggapi permohonan, anggota majelis panel Aswanto mengingatkan sebenarnya tidak ada larangan  bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada. Hal ini tercermin dalam putusan MK Tahun 2009 yang salah satunya mensyaratkan seseorang yang pernah dijatuhi pidana yang ancamannya 5 tahun bisa saja mencalonkan lagi setelah melewati masa jeda selama 5 tahun.

“Artinya, setelah 5 tahun menjalani hukuman, dia bisa mencalonkan diri lagi. Jadi saya harap Saudara mempelajari dan mencermati putusan MK itu. Norma yang Saudara mohonkan sebenarnya sudah pernah diputus MK,” kata Aswasto ungkap Aswanto dalam persidangan.

Sementara Patrialis Akbar berjanji akan segera memutus pengujian Pasal 7 huruf g UU Pilkada ini dalam permohonan sebelumnya. Sebab, belum lama ini ada beberapa permohonan yang menguji pasal yang sama.

“Sebetulnya permohonan ini sudah ada, ada yang sudah selesai tapi ada juga yang baru. Kalau pengujian UU Pilkada ini banyak sekali mungkin MK akan segera memutuskan. Tetapi, tetap memiliki waktu untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari,” kata Patrialis mengingatkan.

Sebelumnya, dua mantan terpidana Jumanto dan Fathor Rasyid mempersoalkan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada terkait larangan eks terpidana yang diancam lima tahun atau lebih mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan itu dinilai sewenang-wenang seolah pembentuk UU menghukum seseorang tanpa batas waktu. Ketentuan ini jelas-jelas menghambat seseorang berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan proses demokrasi.

Padahal, Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 menyebutkan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bersifat individual dan tidak kolektif. Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 telah menyatakan inkonstitusional bersyarat seperti tercantum dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada ini. Putusan ini menentukan empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itu, pemohon meminta MK agar menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Proses persidangan ini tinggal menunggu putusan dari MK.
Tags:

Berita Terkait