Revisi PP JHT, Bukti Buruknya Manajemen Pemerintahan
Berita

Revisi PP JHT, Bukti Buruknya Manajemen Pemerintahan

Presiden harus dibantu oleh orang yang berkompeten, cermat dan teliti sebelum menyodorkan dokumen ke meja presiden.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo. Foto: SGP
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo. Foto: SGP
Belum sepekan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) terbit, pemerintah bakal melakukan revisi. Alasannya, prosedur pencairan dana BPJS JHT menuai kontroversi di tengah masyarakat. Pemerintah seolah tidak cermat dalam membuat aturan turunan sebagai petunjuk teknis yang semestinya memudahkan para peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu menunjukan betapa amburadulnya manajemen pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

“Kasus revisi Peraturan Pemerintah BPJS itu, sekali lagi, membuktikan bahwa manajemen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kantor kepresidenannya sendiri masih amburadul dan sontoloyo,” ujar anggota Komisi III Bambang Soesatyo dalam siaran persnya kepada wartawan, Senin (6/7).

Insiden merevisi dengan cepat kebijakan pemerintah, sebelumnya pernah terjadi beberapa bulan lalu, saat Jokowi melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) tentang uang muka mobil pejabat. Padahal, Perpres tersebut sudah diteken Jokowi. Setelah menuai polemik, Jokowi merevisi dengan alasan tidak membaca detail Perpres tersebut.

“Sekarang hal yang kurang lebih sama terjadi di Peraturan Pemerintah BPJS,” imbuhnya.

Insiden terbitnya kebijakan kontroversial itu di bulan kesembilan usia pemerintahan Jokowi. Ia menilai banyaknya indikasi orang yang tidak berkualitas di dalam lingkaran pemerintah Jokowi. Atas dasar itulah para pembantu presiden kerap melakukan kecerobohan dalam kasus PP BPJS Ketenagakerjaan tersebut.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar itu menilai menteri yang memiliki kewenangan merancang PP BPJS JHT. Semestinya dalam penyusunan PP tersebut, kementerian terkait menerima dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat kelas pekerja. Ia menilai, jika saja hal tersebut dilakukan menteri terkait, insiden aturan menuai polemik keras di masyarakat dapat diminimalisir.

Lebih jauh Bambang Soesatyo berpandangan kecerobohan para menteri  diikuti orang-orang kepercayaan Jokowi di kantor presiden. Tanpa membaca dan mempelajari muatan PP tersebut, mereka menyodorkan ke Presiden Jokowi untuk kemudian ditandatangani. “Jelas bahwa Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Sekretaris negara patut dipersalahkan,” katanya.

Menurutnya, Menseskab dan Mensesneg semestinya tidak asal menyodorkan dokumen apapun yang memerlukan tanda tangan presiden. Kemudian, Menseskab atau Mensesneg wajib mempelajari muatan dokuemn sebelum di boyong ke meja presiden untuk ditandatangani. Bahkan jika perlu, Menseskab dan Menseneg meminta pertimbangankan dan masukan dari para ahli yang sehati-hari membantu presiden.

“Prosedur ini rupanya tidak dijalankan, sehingga presiden lagi-lagi kecolongan dan dipermalukan. Tetapi, seperti itulah risiko yang harus diterima Presiden Jokowi karena dia sendiri yang memilih orang-orang kepercayaannya,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menambahkan, Presiden Jokowi mesti didukung oleh orang maupun kelompok orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia mengambil contoh pemerintahan di era Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Dalam pemerintahan Soeharto, setidaknya terdapat orang-orang kompeten di bidangnya. Misalnya Sekneg Moerdiono. Menurutnya seluruh dokumen yang perlu ditanda tangani presiden mesti melalui Sesneg untuk dilakukan cek dan ricek sebelum disodorkan ke meja presiden.

“Seluruhnya di tangan belua, tidak ada satu pun kesalagan. Kalau ada yang dilakukan Pak Harto, semua sudah disiapkan mengkomunikasi terkait sosialisasi, siap resiko, dan  dokumen checking sistem yang baik,” ujarnya.

Berbeda dengan era pemerintahan Jokowi, kata Fahri, semua lepas tangan. Menurutnya, jika melakukan kesalahan saling lepas tangan. Padahal sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan mesti mengambil tanggungjawab atas kerja pembantunya yang melakukan kesalahan.

“Di Pak jokowi tidak ada kelas begitu, kelasnya lepas tangan. Tidak bisa lakukan kesalahan orang lain boleh, presiden tidak boleh. Kalau pun toh kesalahan, tapi mesti berkelas sehingga jangan enggak baca salah ketik dan lain-lain, itu nunjuk kualitas lembaga,” ujarnya.

Terhadap persoalan yang kerap berulang itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menyarankan agar Presiden Jokowi mesti didampingi para pembantu yang berkelas memiliki komptensi tinggi. Misalnya memahami ujung dari keputusan yang diambil presiden. “Saya kira kalau Pak Jokowi punya kesempatan mencari orang terbaik itu ada, Cuma mau diakomodiri atau tidak,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, Kebijakan baru berupa prosedur pencairan dana JHT  itu menuai protes dari kalangan buruh. Soalnya,  ketentuan yang ada dinilai merugikan buruh. Seperti peserta JHT baru bisa mencairkan dana JHT setelah masa kepesertaannya minimal 10 tahun, dana yang dapat dicairkan pun hanya 10 persen. Dana bisa dicairkan penuh setelah peserta masuk usia 56 tahun, meninggal dunia atau cacat total.

Belakangan Menteri tenaga Kerja (Menaker) M Hanif Dhakiri mendapat arahan dari Presiden Jokowi berupa pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja dapat segera mencairkan dana JHT.

“Pengecualiannya adalah bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT hanya dengan masa tunggu satu bulan, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. Itu arahan Presiden”, katanya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Sabtu (04/7).

Menindaklanjuti arahan tersebut, Hanif menyebut akan segera merevisi PP No. 46 Tahun 2015 tentang JHT. Menurutnya, JHT ditujukan untuk memberi perlindungan kepada pekerja terhadap resiko di hari tua karena produktifitas pekerja menurun. JHT disebut juga tabungan hari tua.
Tags:

Berita Terkait