Pemohon Anggap Ada Kelemahan Dewan Pengawas BPJS
Berita

Pemohon Anggap Ada Kelemahan Dewan Pengawas BPJS

Pemerintah dan DPR sudah bersuara. Majelis wanti-wanti agar yang dipersoalkan pemohon adalah persoalan norma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Iklan layanan masyarakat tentang BPJS Ketenagakerjaan. Foto: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Iklan layanan masyarakat tentang BPJS Ketenagakerjaan. Foto: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Organ Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi. Sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Dewan Pengawas, yang beranggotakan tujuh orang professional, bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS.

Struktur Dewan Pengawas inilah yang sekarang lagi dipersoalkan sejumlah pemerhati jaminan social. Yaslis Ilyas, Kasir Iskandar, Odang Muchtar, dan Dinna Wisnu, membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi. Sidangnya sudah berkali-kali digelar, DPR dan Pemerintah pun sudah menyampaikan pandangan.

Dalam sidang lanjutan, Senin (06/7), para pemohon menghadirkan seorang saksi untuk memperkuat dalil-dalil para pemohon. Raharditio, saksi dimaksud, mengungkapkan pengalaman orang tuanya berurusan dengan BPJS. Menurut saksi kelemahan pengelolaan BPJS mengakibatkan  meninggalnya pasien. Ini dialami sendiri oleh ayah saksi. Ketika mendaftarkan dirinya, sang ayah  tidak serta merta mendapatkan fasilitas kesehatan BPJS. Ada waktu aktivasi, sehinga harus menunggu selama tujuh hari.

“Kami baru mengetahui ada waktu aktivasi satu minggu saat kondisi kritis. Dokter visit menganjurkan pemindahan pasien ke ruang intensive care unit (ICU). Biaya sudah sangat besar, akhirnya pasien meninggal,” ujar Raharditio dalam persidangan yang diketuai Anwar Usman di Gedung MK, Senin (06/7).

Salah seorang pemohon, Dinna Wisnu, menilai kejadian ini disebabkan adanya lemahnya struktur Dewan Pengawas BPJS. Peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan BPJS merugikan pasien. Celakanya, Dewan Pengawas terkesan diam meskipun punya fungsi mengawasi pelaksanaan BJPS. “Ini tidak terlepas adanya Pasal 21 UU BPJS yang terdiri dari dua unsur pemerintah, selain pekerja, pemberi kerja, dan tokoh masyarakat dalam Dewan Pengawas BPJS,” kata Dinna.

Menurutnya, ketentuan itu membuka ruang terpilihnya  Dewan  Pengawas BPJS yang tidak kredibel atau tidak sesuai  dengan  kehendak rakyat karena ada dua  unsur pemerintah di dalamnya yang berakibat Dewan Pengawas tidak independen.

Selain itu, salah dampak dari aturan pemisahan aset, pihak BPJS Kesehatan mengeluarkan salah satu kebijakan yang merugikan pasien pengguna BPJS. Soalnya, pihak BPJS tidak bisa mengutak-ngatik dana jaminan sosial sejak masih menjadi PT Askes. Akibatnya, peserta BPJS harus menunggu rentang waktu tertentu untuk bisa mendapatkan fasilitas kesehatan.  “Itu satu efek dari pemisahan aset sehingga mereka tidak bisa mengutak-ngutik dana jaminan sosial dari masa PT Askes,” imbuhnya.

Anggota majelis, I Dewa Gede Palguna menganggap apa yang dipaparkan pemohon merupakan persoalan kasus konkrit terkait pelaksanaan jaminan sosial di lapangan, bukan persoalan norma Dewan Pengawas BPJS. “Kami melihat ini bagian dari persoalan nyata dari problem pelaksanaan BPJS, tetapi yang Anda ajukan kesini konteks Dewan Pengawas BPJS?”

Sebelumnya, Dinna Wisnu dan kawan-kawan mempersoalkan Pasal 21 ayat (2) beserta Penjelasannya, Pasal 25 ayat (1) huruf f, Pasal 41 ayat (2), Pasal 42, dan Pasal 43 ayat (2) UU BPJS terkait komposisi Dewan Pengawas BPJS dan pemisahan aset BPJS dengan aset dana jaminan sosial.  Misalnya, Pasal 21 ayat (2) UU BPJS beserta penjelasannya membuka ruang terpilihnya  Dewan  Pengawas BPJS dinilai tidak  sesuai  dengan  kehendak rakyat karena ada dua  unsur  pemerintah, dan membuat anggota Dewan Pengawas tidak independen.

Pemohon menilai berdasarkan ketentuan tersebut, yang dapat menduduki jabatan dalam jajaran Dewan Pengawas BPJS Kesehatan hanya yang tergabung dalam jajaran pemerintahan, jajaran pemberi kerja, pekerja, dan tokoh masyarakat yang sulit ditentukan kriterianya.

Pemohon juga menggugat ketentuan batasan usia Dewan Pengawas BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Pasal 25 ayat (1) huruf f UU BPJS yang dinilai telah menghambat kinerja BPJS Kesehatan. Seharusnya, didasarkan pada kriteria yang diukur dari jenjang pendidikan formal dan didasarkan pada kompetensinya.

Menurut pemohon, tidak diperlukan pemisahan aset karena penggunaan dan pemanfaatannya telah menimbulkan konflik kepentingan. Pemisahan aset tersebut menjadikan direksi BPJS akan merasa aset BPJS sebagai miliknya. Padahal sebagai badan hukum publik, aset pemerintah dan tidak boleh dipisahkan karena merupakan aset rakyat. Karena itu, Pemohon meminta MK untuk menghapus pasal-pasal itu.
Tags:

Berita Terkait