DPR Kritik PP Pelaksana BPJS Ketenagakerjaan
Utama

DPR Kritik PP Pelaksana BPJS Ketenagakerjaan

Pemerintah bersedia merevisi. Tetapi ingat, ada resiko yang timbul jika banyak peserta yang secara bersamaan mencairkan dana JHT.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Komisi IX DPR mengusulkan agar pemerintah merevisi tiga peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga regulasi teknis itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JKK-JKm), PP No. 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun (JP) dan PP No. 46 tentang Jaminan Hari Tua (JHT).

Permintaan DPR ini merupakan salah satu kesimpulan dalam rapat antara Komisi IX DPR dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan di Senayan Jakarta, Senin (06/7). Ketua Komisi IX, Dede Yusuf, mengatakan DPR meminta pemerintah segera merevisi ketiga PP tersebut. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini untuk memperbaiki pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan yakni revisi terhadap ketiga PP itu. “Tidak diperlukan Perppu, ini hanya PP nya saja yang bermasalah,” katanya.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan ketiga PP itu penting untuk direvisi karena isinya tidak mencerminkan amanat sebagaimana diatur UU SJSN dan BPJS. Ia mengatakan program JHT, JKK dan JKm sudah dilaksanakan selama ini oleh BPJS Ketenagakerjaan. Salah satu yang disorot buruh untuk program JHT yakni syarat pengambilan dana JHT yang mengharuskan masa kepesertaan minimal 10 tahun. Dana yang dapat diambil juga dibatasi hanya 10 persen dan untuk perumahan 30 persen.

Padahal pasal 37 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebut pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun. Bagi Rieke, kata 'dapat' dalam ketentuan itu bukan berarti wajib. Sehingga pembayaran manfaat mestinya bisa diberikan kepada peserta sekalipun masa kepesertaannya kurang dari 10 tahun.

Rieke mengatakan PP No. 45 Tahun 2015 tentang JP juga perlu direvisi karena manfaat yang diberikan tidak dapat dikatakan layak untuk pekerja dan keluarganya. Regulasi itu memuat ketentuan yang mengatur besaran iuran JP 3 persen dengan manfaat paling sedikit Rp300 ribu dan paling banyak Rp3,6 juta setiap bulan. “Ini bukan program JP yang layak bagi buruh,” katanya.

Sebelumnya, setelah mendapat kritik dari aktivis buruh, Pemerintah mengungkapkan keinginan merevisi PP JHT. Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, membenarkan ia dan Menaker, M. Hanif Dhakiri, sudah dipanggil Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu Presiden mengarahkan agar PP JHT direvisi sehingga peserta yang diputus hubungan kerja (PHK) dan masa kepesertaan kurang dari 10 tahun bisa mengambil dana JHT.

Secara umum Elvyn menyebut BPJS Ketenagakerjaan siap melaksanakan ketentuan baru jika pemerintah merevisi peraturan pelaksana, terutama PP tentang JHT. Misalnya, menyiapkan dana JHT yang akan dicairkan peserta. Namun, ia mengingatkan dampak negatif yang bisa muncul akibat banyaknya peserta yang mencairkan dana JHT.

Dalam menyiapkan dana tersebut BPJS Ketenagakerjaan akan menarik dana yang sudah diinvestasikan pada sejumlah instrumen seperti saham, obligasi pemerintah dan reksadana. Ketika BPJS Ketenagakerjaan mencairkan investasinya berupa deposito di perbankan maka sistem perbankan berpotensi terkena dampak sistemik.

“Kami khawatir itu akan berdampak pada perekonomian. Kalo deposito dicairkan itu dapat berdampak pada perbankan, bisa jadi bank kekurangan dana. Maka itu kami mohon diperhatikan dampaknya secara sosial dan ekonomi,” papar Elvyn.

Menanggapi penjelasan itu anggota Komisi IX dari PDIP, Ribka Tjiptaning, mengatakan revisi ketiga PP itu sangat penting bagi beroperasinya 4 program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab itu menyangkut pengelolaan uang buruh oleh BPJS Ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh. Untuk itu sekalipun ada resiko ekonomi yang tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan pencairan dana JHT oleh buruh tapi tidak boleh dihambat. Menurutnya, dana yang terkumpul di JHT adalah uang milik buruh sebagai peserta.

“PP ini penting, tapi kenapa malah dikaitkan dengan deposito, perbankan dan lain-lain. Coba anda jelaskan berapa keuntungan dari dana buruh yang diinvestasikan dalam satu hari, berapa bunganya? Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya, ini uang buruh, urusan kita di sini menyangkut kesejahteraan buruh,” papar Ribka.

Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengingatkan agar buruh dilibatkan dalam revisi ketiga PP itu. Sehingga apa yang diinginkan buruh bisa diakomodasi dalam regulasi tersebut. Menurutnya pelibatan itu sebagai salah satu bentuk pelaksanaan prinsip SJSN yakni transparan. “Dalam revisi itu mohon serikat buruh dilibatkan sehingga peraturan yang diterbitkan nanti sesuai dengan harapan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait