Ini Alasan BI Merevisi Kebijakan GWM
Berita

Ini Alasan BI Merevisi Kebijakan GWM

Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan kredit dan UMKM.

Oleh:
M-22
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP

Bank Indonesia (BI) menerbitkan regulasi penyesuaian rasio pinjaman terhadap pendanaan atau Loan to Funding Ratio (LFR) dalam kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM-LFR). Kebijakan penyesuaian ketentuan GWM-LFR itu diubah dengan memperluas komponen pendanaan agar mendorong penyaluran kredit ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lebih besar.

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Yati Kurniati mengatakan, penerbitan kebijakan ini dilatarbelakangi dengan pertumbuhan ekonomi yang termoderasi dan berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan semula. Bahkan, kondisi tersebut juga diiringi dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi yang juga diikuti perlambatan kredit. Akibatnya kondisi itu berpotensi meningkatkan resiko pada stabilitas sistem keuangan.

Awalnya, BI memperkirakan target pertumbuhan kredit pada awal tahun 2015 berada di kisaran 15 persen-17 persen. Akan tetapi, pertumbuhan kredit sampai dengan Mei 2015 masih berada di kisaran 10,04 persen. “Kita berharap untuk sisa waktu ini perbankan dengan tetap memperhatikan kehati-hatiannya tetap menyalurkan kredit lebih banyak lagi,” ujar Yati usai berbincang dengan wartawan di Gedung BI, Jakarta pada Senin (6/7).

Menurut Yati, perluasan komponen pendanaan tidak hanya berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Tapi juga, dengan memasukkan surat surat berharga (SSB) yang diterbitkan oleh bank dalam perhitungan GWM-LDR. Namun, istilah LDR, lanjut Yati, diubah menjadi Loan to Funding Ratio (LFR), dengan rasio yang tetap sama.

“Jadi sumber pendanaan tidak hanya DPK saja tapi juga diperhitungkan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh bank. Sehingga ruang untuk menyalurkan kredit jadi lebih besar pula,” kata Yati.

Selain itu, perluasan LFR juga diharapkan memberikan ruang yang lebih besar dalam penyaluran kredit. Sebab pemberian insentif dalam bentuk kelonggaran batas atas perhitungan LFR mencapai 94 persen. “Perluasan LFR Perbankan diharapkan memiliki room/ruang yang lebih besar untuk menyalurkan kreditnya karena pembatasan LFR itukan tetap 78-92 persen tapi dengan pembagi yang lebih besar,” jelasnya.

Menurutnya, dengan masuknya SSB dalam komponen pendanaan, maka mendorong perbankan untuk segera memiliki alternatif sumber pembiayaan yang lain. Selain itu, penerbitan SSB oleh bank juga membuat pasar keuangan Indonesia semakin berkembang.

Tags:

Berita Terkait