Pansel KPK: Revisi UU KPK Belum Mendesak
Berita

Pansel KPK: Revisi UU KPK Belum Mendesak

Pemerintah mesti menjelaskan alasan pengusulan dan pencabutan revisi UU KPK dari Prolegnas prioritas 2015.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pansel KPK: Revisi UU KPK Belum Mendesak
Hukumonline
Anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK, Yenti Garnasih menilai belum ada kebutuhan mendesak untuk merevisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasalnya, kewenangan penyadapan, tidak memiliki kewenangan penghentian penyidikan perkara serta penuntutan satu atap menjadi kelebihan KPK. Itu pula yang membedakan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya.

“Saya dalam posisi menilai belum urgent dan belum waktunya direvisi. Karena masih masuk prioritas menengah, dan ini didorong masuk prioritas ada apa,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (7/7).

Sebagai induk hukum acara pidana dan hukum materil, semestinya Rancangan KUHAP dan Rancangan KUHP yang lebih dahulu dilakukan pembahasan. Langkah itu lebih terarah dengan membenahi hukum acara pidana yang menjadi rujukan bagi UU lain. Yenti berpendapat, kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK jika didahului izin dari pengadilan akan menghambat pemberantasan korupsi.

Ia menilai kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK acapkali dipersoalkan oleh banyak kalangan. Padahal, kewenangan penyadapan menjadi senjata ampuh KPK untuk melakukan penangkapan terhadap koruptor saat melakukan transaksi haram. Menurutnya jika aturan kewenangan penyadapan KPK disamakan dengan kewenangan penyadapan yang dimiliki lembaga penegak hukum lain, maka lembaga antirasuah itu bukanlah luar biasa.

“Apa bedanya KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Padahal, keberadaan KPK menutupi ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.

Terkait dengan kewenangan menghentikan penyidikan perkara, KPK dinilai sudah tepat tidak memiliki kewenangan tersebut. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu lebih jauh berpandangan, tidak memiliki kewenangan penghentian penyidikan perkara mengharuskan KPK mengedepankan asas kehati-hatian dalam penyidikan. Menurutnya, sekali pun tersangka meninggal dunia, KPK masih dapat menyidik perkara dengan menggali tersangka lain, sekaligus mengejar harta pelaku hasil tindak pidana.

“Masalah korupsi harus diseriusi antara pemerintah dan DPR. Tapi UU KPK belum urgent untuk direvisi. Justru KUHAP dan KUHP yang harus dibahas duluan sebagai induk. Kalau UU KPK tidak terlalu sesuai dengan KUHAP dan KUHP tidak apa-apa karena sifatnya lex spesialis,” ujarnya.

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hemahua menambahkan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Itu sebabnya UU KPK bersifat ekstra ordinary law yang menggabungkan hukum pidana dan denda. Menurutnya, sejumlah kewenangan KPK mulai penyadapan menjadi amunisi senjata ampuh dalam pemberantasan korupsi.

“KPK tanpa kewenangan penyadapan bukan apa-apa. KPK dianggap menyalahgunakan penyadapan, saya tidak lihat itu. Saya susun SOP penyadapan, KPK bukan orang gila yang mau melakukan penyadapan 560 anggota dewan,” ujarnya.

Pria berjenggot putih itu mengatakan, penyadapan dilakukan melalui prosedur berjenjang hingga mendapat tanda tangan persetujuan minimal dua pimpinan KPK. Begitu pula transkrip hasil sadapan tidak sembarang orang di KPK dapat membacanya. Namun hanya pihak yang berwenang di KPK.

“Jadi aturannya ketat. Kalau anda tidak korupsi kenapa takut (disadap). Orang yang bereaksi keras  terhadap KPK insya Allah itu berarti dia punya masalah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hemahua mengatakan kewenangan penghentian penyidikan justru berpotensi disalahgunakan menjadi anjungan tunai mandiri (ATM) oleh aparat penegak hukum. Justru dengan tidak memiliki kewenangan penghentian penyidikan menjadikan KPK mesti lebih berhati-hati dalam penyidikan.

Ia menilai kekeuhnya DPR ingin melakukan revisi sudah terjadi dari beberapa tahun lalu. Namun akhirnya gagal di tengah jalan. Ia berharap sekalipun UU KPK ingin dilakukan revisi, maka hanya dilakukan revisi terbatas terhadap pasal yang lemah. Misalnya Pasal 39, 41 dan 45 UU KPK. “Kalau mau direvisi itu untuk penguatan,” ujarnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Subagyo  mengatakan usulan revisi UU KPK bukan berasal dari DPR. Pasalnya Baleg tidak  pernah meneria usulan dari komisi maupun anggota DPR terkait dengan RUU tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dalam Prolegnas prioritas 2015. Namun, justru Menkumham Yasonna H Laoly mewakili pemerintah mengajukan 3 RUU dalam Prolegnas prioritas 2015. Satu diantaranya revisi UU KPK.

Menurutnya, Baleg awalnya tidak memberikan persetujuan. Pasalnya, yang perlu diamandemen adalah KUHAP dan KUHP terlebih dahulu. Namun, Menkumham dalam rapat Baleg pada 16 Juni 2015 lalu kekeuh mengusulkan revisi dengan beberapa alasan. Pertama, terkait dengan kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua, terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan kejaksaan. Ketiga, perlunya dibentuk dewan pengawas.

“Alasan (Menkumham) pelaksanaan UU ini (KPK) masalah menimbulkan masalah yangm enyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta dalam upaya membangun negara yang bersih sehingga perlu dilakukan peninjauan terhadap beberapa ketentuan,” katanya.

Harus jelaskan pencabutan
Terkait adanya perintah pencabutan revisi UU KPK dari Prolegnas, Firman mengaku mendengar langsung dari Yasonna. Menurutnya Mensesneg diperintah langsung oleh Presiden Jokowi. Namun menjadi persoalan, Menkumham saat mengusulkan revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015 posisi mewakili pemerintah. Jika kemudian presiden tidak menyetujui revisi UU KPK, ada koordinasi yang salah antara Jokowi dengan pembantunya.

“Pemerintah ini tidak berdiri sendiri. Menkumham menyampaikan atas nama pemerintah, tentunya sudah mempertimbangkan semuanya, bahkan ada alasan mendesak,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan akibat ketidaksingkronan di internal pemerintah, akibatnya DPR menjadi bulan-bulanan publik. DPR dituding seolah sebagai inisiator masuknya revisi UU KPK dalam prolegnas prioritas 2015. Padahal hal tersebut keinginan Menkumhan yang mengatasnamakan pemerintah.

DPR, kata Firman bersifat menunggu surat dari presiden jika memang benar ingin mencabut revisi UU KPK dari Prolegnas 2015. Pasalnya pencabutan sebuah RUU mesti dilakukan dalam rapat paripurna. Sekaligus, pemerintah mesti menjelaskan alasan pencabutan revisi UU KPK.

“Saya kecewa Pak Menkumham melangkah ke DPR mengatasnamakan pemerintah. Harusnyamelapor dulu ke bosnya. Saya khawatir Pak Jokowi dan Yasonna ini main-main. Kalau di paripruna, nanti harus dijelaskan kenapa diusulkan kenapa juga mau dicabut, harus dijelaskan, dan supaya clear,” pungkas anggota Komisi IV itu.
Tags:

Berita Terkait