Sepenggal Kisah Bismar dan Yap Thiam Hien
Mengenang Bismar:

Sepenggal Kisah Bismar dan Yap Thiam Hien

Yap pernah memprotes putusan Bismar tentang hukuman mati. Bismar melayat saat Yap meninggal dunia.

Oleh:
MYS/ADY/NOV
Bacaan 2 Menit
Kolase Bismar Siregar dan Yap Thiam Hien. Foto: RES
Kolase Bismar Siregar dan Yap Thiam Hien. Foto: RES
Saat memberikan ceramah dalam Yap Thiam Hien Lecture di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta 14 Juni 2011, Ketua Umum Persatuan Gereja-Gereja se-Indonesia (PGI), Andreas A. Yewanggoe, menyebut Yap sebagai seorang yang dipengaruhi oleh belarasa. Dari beberapa kesaksian para sahabatnya, Yewanggoe mendapatkan kesan bahwa Kasih itulah yang sangat mempengaruhi seluruh kehidupan dan perilaku Yap Thiam Hien.

Yap mengamalkan suatu iustitia creative, keadilan yang menciptakan ruang dan kemungkinan, sehingga yang lemah memperoleh kekuatan tampil dan memperlihatkan dirinya. Di akhir ceramahnya, Yewanggoe menyebut satu nama: Bismar Siregar. Bismar, kata Andreas, menggambarkan Yap sebagai  seorang yang konsisten untuk ‘mengatakan ya yang ya dan (mengatakan) tidak di atas yang tidak’.

Dihubungi 23 Juni lalu, Pendeta Andreas mengatakan tak mengenal Bismar secara pribadi, bertemu pun belum pernah. Tetapi mantan Ketua PGI ini mengetahui Bismar sebagai hakim yang berani melakukan terobosan. “Beliau berani melakukan terobosan. Artinya, membuat interpretasi terhadap hukum positif. Jadi tidak terpaku pada apa yang tertulis. Beliau menyelami sampai ke jiwa,” ujarnya kepada hukumonline.

Pernyataan Bismar yang dikutip Yewanggoe bukan benar-benar berasal dari Bismar. Kalimat itu bisa ditemukan di Alkitab, Matius 5:37. Kalimat tersebut senada dengan apa yang pernah ditulis Yap. “Jujur berarti menyatakan yang putih sebagai putih, yang hitam sebagai hitam, yang benar sebagai benar, yang salah sebagai salah,” tulis advokat pendekar hak asasi manusia itu dalam salah satu artikelnya di Kompas, 17 Maret 1971.

Yap dan Bismar adalah dua pribadi yang telah mematri nama mereka dalam dunia hukum di Indonesia. Mereka hidup dalam dunia penegakan hukum. Yap berprofesi sebagai pengacara, Bismar sebagai hakim. Mereka ‘bertemu’ dalam bingkai kejujuran menjalankan profesi masing-masing.

Seperti tertulis dalam ‘Mr. Dr. Yap Thiam Hien di Mata dan Hatiku’, Bismar bercerita perkenalan pertamanya dengan Yap justru bermula saat Yap sedang menghadapi satu tuduhan melakukan tindak pidana fitnah. Sidang-sidang Yap menjadi headline di media massa yang dibaca Bismar. Membaca terus proses hukum Yap, hati Bismar tergerak memberikan dorongan. “Jangan ragu saudara Yap. Bila Anda benar, ke langit ketujuh pun engkau dihadapkan, jangan jadikan masalah”.

Bismar menggambarkan sosok Yap sebagai orang ‘yang tidak berdiam diri melihat hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, apalagi menyangkut adil dan keadilan’.

Kasus Albert Togas menjadi salah satu pemicu Yap melancarkan kritik tajam terhadap Bismar. Yap adalah advokat yang anti hukuman mati. Hakim-hakim yang menjatuhkan hukuman mati dia kecam. Termasuk ketika Bismar menjatuhkan hukuman mati terhadap Albert Togas, seorang karyawan PT Bogasari, yang terbukti membunuh orang yang telah berjasa dalam hidupnya.

Yap mengecam habis-habisan Bismar. "Biar Saudara Bismar dengan segala dalil juga alasannya tetap bertahan atas pendapat setuju pidana mati, saya tetap menentang, walau suara saya hilang percuma dan palu Saudara Bismar yang menentukan. Tetapi saat ini saya tegaskan, saya anti pidana mati”.

Todung Mulya Lubis mengaku sebagai orang yang meminta Bismar Siregar membuat tulisan tentang perjuangan Yap tersebut, dan menjadi bagian dari buku Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia. Todung dan Aristides Katoppo menyunting buku terbitan 1996 itu. “Saya yang mengundang Pak Bismar untuk menulis karena saya menganggap Pak Bismar mempunyai interaksi dengan Pak Yap dalam beberapa persidangan,” jelas Todung.

Todung tidak menjelaskan dalam perkara apa saja Yap berinteraksi dengan Bismar di persidangan. Biografi Yap Thiam Hien yang ditulis Daniel S Lev, ‘No Concession, the Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer’ (2011) juga tak menyinggung penggalan interaksinya dengan Bismar di persidangan.

Sebaliknya, Bismar merekam perbincangan sekaligus perdebatan mereka berdua sebagaimana tertuang dalam buku yang diedit Todung dan Aristides Katoppo. Salah satunya kebijakan tentang penjatuhan sanksi bagi para pihak yang berperkara, termasuk pengacaranya, yang terlambat hadir sidang di PN Jakarta Timur-Utara. Kebijakan Bismar itu dikritik Yap. Bismar menyebutnya ‘berondongan keberatan seorang kawakan’.

Kebijakan itu rupanya berkaitan dengan ransum tahanan. Sebagai manusia, kata Bismar, para tahanan yang sedang menunggu sidang pasti lapar dan haus. Mereka perlu dibekali makanan. Dalam bahasa yang santun Bismar mengajak Yap –sebagai advokat yang memperjuangkan hak asasi manusia—untuk bersikap peduli pada nasib para tahanan yang belum tentu bersalah itu. “Akankah Saudara Yap yang gigih berjuang demi Hak Asasi Manusia mengabadikan nasib si Badu, si Dadap, si Waru, lapar menunggu saat disidangkan dan berkata: ‘Itu bukan urusanku!’ Itu tugas negara!”.

Bismar melanjutkan. “Salahkah Saudara Yap, bila saat tengah hari para sesama yang tidak berbahagia disajikan sepotong pisang goreng dan segelas teh bergula? ….Tidak inginkah Saudara bersama saya memahami keadaan pegawai Kehakiman ini yang gajinya tidak memadai hidup sederhana, akan tetapi diberi kewajiban melayani pencari keadilan? Tidakkah Anda berikhlas hati menyisihkan sebagian rezekimu disertai niat, mengapa tidak ikut meringankan beban sesama? Berkat sumbangan Anda melalui biaya perkara dan pendaftaran pengacara, saya dapat berbuat sesuatu menegakkan disiplin, menghindarkan karyawan menyalahgunakan jabatan”.

Rupanya Yap juga protes Bismar tentang kebijakan pendaftaran pengacara setiap tahun di kepaniteraan pengadilan. Namun setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari Bismar, Yap tak lagi menghambat kebijakan itu. “Saudara Bismar! Walau secara formil saya tidak dapat menerima kebijaksanaan Saudara sebagai ketua pengadilan, tetapi setelah mendengar uraian dan ungkapan latar belakang Pemikiran Saudara, hati nurani saya berbisik: teruskan- saya akan patuhi, karena itulah garis hubungan tugas antara saya dengan saudara, sama bertujuan menciptakan suasana persidangan yang benar-benar memberi pengayoman”.

Todung mengaku pernah mendengar informasi tentang kebijakan Bismar tersebut. Bahkan ia setuju kebijakan Bismar menjatuhkan sanksi kepada para pihak yang terlambat datang sidang. Tetapi ia tidak tahu persis korespondensi Yap dengan Bismar Siregar mengenai kebijakan itu. Sepanjang pengetahuan Todung, Yap dan Bismar saling menghormati satu sama lain. “Kalau mereka bertemu dalam suatu acara, hubungan mereka baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah saya lihat,” jelas Todung.

LBH Jakarta (YLBHI), tempat Todung dulu berkarier, memang pernah menghadirkan Bismar dan Yap dalam acara tertentu seperti pelatihan. Yap sendiri adalah pengurus YLBHI. Dan dalam pertemuan keduanya seolah-olah tidak pernah berbeda pendapat. Bismar sendiri memang tipikal hakim yang menganggap perbedaan pendapat itu sebagai berkah. Untuk menghadapi advokat kawakan dan keras seperti Yap, Bismar punya kuncinya. “Kekerasan sikap dan watak seseorang hanya dapat dipecahkan dengan merendahkan hati, mengetuk hati dan meraih simpati. Bukan benar sendiri,” tulis Bismar dalam Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia.

Pertanyaan di seminar LIPI
Pertautan pandangan Bismar dan Yap bisa juga ditelusuri dari perkara orang yang dituduh terlibat PKI. Alkisah, pada waktu menjadi Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, Bismar pernah menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada seorang tokoh PKI setempat.

Dalam beberapa tulisan lain, Bismar juga sering menyinggung bahwa PKI tidak sejalan dengan Pancasila, sehingga tak mungkin hidup di bumi yang penduduknya mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa ini.

Seperti halnya Bismar, Yap tak suka PKI. Tetapi sebagai advokat, ia memberikan pembelaan terhadap sejumlah tokoh yang dituduh terlibat G.30.S/PKI. Yap tercatat menjadi pengacara Subandrio, Kol. Abdul Latief, Asep Suryaman, dan Oei Tjoe Tat.

Dalam suatu seminar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1970-an, Bismar tampil sebagai pemakalah, Yap sebagai pembahas. Tiba-tiba di acara itu, tulis Bismar, Yap mengajukan pernyataan yang bukan bersifat hukum, melainkan condong pribadi dan filsafat. “Saya ingin mendengar dari saudara sejauh mana saudara sebagai hakim dapat mengadili seorang tersangka G.30.S/PKI, saudara melepaskan diri dari kebencianmu?” Pertanyaan yang menurut Bismar membuatnya terpojok sejenak.

Adakah pertanyaan itu ditujukan karena Bismar pernah menghukum berat tokoh BTI tersebut, atau karena pernyataan-pernyataan Bismar yang mengecam PKI? Bismar tak memberikan penjelasan dalam tulisannya. Tetapi ia berusaha memberikan jawaban yang melegakan Yap: Alhamdulillah dan Haleluya.

Pertama, Bismar menyampaikan simpati karena meskipun berbeda iman Yap tetap menghargai Bismar. Kedua, Bismar mencari jawaban dalam filsafat hukum Barat tetapi tidak menemukannya. Ia justru menemukan jawabannya dalam filsafat Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bismar lalu mengutip al-Quran surat al-Maidah 81. “Hai orang yang beriman. Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan Janganlah kebencian orang mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena itu lebih dekat ke takwa”.

Bismar melengkapinya dengan kutipan Matius 5:37 seperti yang disinggung Pendeta Andreas Yewanggoe dalam lecture Yap Thiam Hien Award tersebut. Katakan ya di atas ya, dan tidak di atas yang tidak!

“Saudara Yap. Sekiranya setan sekalipun yang ditampilkan di hadapan saya, saya hilangkan baju setannya dan melihat ia sebagai pendamba keadilan. Apalagi yang diadili seorang di antara sesama, sebangsa yang tergelincir langkahnya,” kata Bismar. “Tidak dibenarkan rasa kebencian mempengaruhi diri sang hakim,” sambungnya. Yap, tulis Bismar, puas dengan jawaban itu.

Kisah pertanyaan di seminar LIPI itu terbersit ketika Bismar melayat Yap Thiam Hien. Advokat pejuang hak asasi manusia itu menghembuskan nafas terakhir di Brussel, Belgia pada 25 April 1989. Dan sang hakim yang menjadi sahabatnya menyusul 23 tahun kemudian, tepatnya pada 19 April 2012.

Mereka berdua tokoh hukum yang mewariskan keberanian, kesederhanaan, dan kejujuran kepada generasi berikutnya.
Tags:

Berita Terkait