Defisit, Ancaman Potensial BPJS Kesehatan
Utama

Defisit, Ancaman Potensial BPJS Kesehatan

Butuh perbaikan besaran iuran dan rasionalisasi tarif pelayanan kesehatan. Juga perluasan kepesertaan pekerja formal.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Salah satu kantor BPJS Kesehatan. Foto: RES
Salah satu kantor BPJS Kesehatan. Foto: RES
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Hidayat, mengatakan BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit setiap tahun karena pemasukan lebih kecil daripada pengeluaran. Salah satu sumber pemasukan utama yang diterima BPJS Kesehatan berasal dari iuran peserta, namun jumlah iuran yang terkumpul belum optimal, sehingga rasio klaim BPJS Kesehatan melebihi seratus persen. Idealnya, rasio klaim itu sekitar 90 persen yakni dari 100 persen pemasukan hanya 90 persen yang digunakan untuk membayar klaim ke fasilitas kesehatan (faskes).

Budi menilai kondisi itu mengancam keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional (JKN). Untuk itu ia mengusulkan agar besaran iuran harus direvisi dan dilakukan rasionalisasi terhadap tarif pelayanan kesehatan. Jika tidak, setiap tahun BPJS Kesehatan potensial mengalami defisit. Misalnya, pemasukan BPJS Kesehatan tahun 2014 sekitar 47,324 triliun, sedangkan pengeluarannya sekitar Rp49,146 triliun. Ada defisit Rp1,8 triliun.

Budi menilai sekalipun saat ini jumlah peserta BPJS Kesehatan mengalami peningkatan, tetap tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh badan ini. “Akar permasalahannya, besaran iuran yang diatur Perpres No. 111 Tahun 2013 tidak sebanding dengan pengeluaran terkait implikasi Permenkes No. 59 Tahun 2014,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Elkape dan BPJS Watch di Jakarta, Rabu (15/7). Permenkes ini mengatur standar tarif pelayanan kesehatan.

Pembenahan itu menurut Budi harus dilakukan secara sistemik, bukan saja revisi iuran JKN tapi juga dibutuhkan kerjasama semua pihak dalam penetapan besaran iuran itu. Kemudian, mengevaluasi batas atas dan bawah upah yang digunakan untuk membayar iuran bagi peserta pekerja penerima upah (PPU).

Perbaikan juga perlu menyasar kapitasi sehingga bisa mendorong peningkatan pelayanan di faskes tingkat pertama (FKTP) seperti Puskesmas, klinik dan dokter keluarga. Tarif INA-CBGs untuk RS pemerintah dan swasta bagi Budi juga harus dibedakan. Sebab, RS swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah.

Budi berharap pembenahan iuran bisa mendanai seluruh biaya pelayanan kesehatan. Pembenahan ini juga guna menghindari agar JKN tidak dianggap produk inferior, dan mampu membayar pelayanan kesehatan kepada faskes sesuai dengan harga keekonomian. Jika berbagai pembenahan itu tidak dilakukan, kata akademisi ini, peserta BPJS Kesehatan akan dinomor duakan oleh faskes.

Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga (HAL) BPJS Kesehatan, M Ikhsan, mengakui BPJS Kesehatan mengalami miss and match pada 2014. Sehingga menyebabkan rasio klaim melebihi 100 persen. Untungnya, BPJS Kesehatan bisa menggunakan dana cadangan teknis sehingga seluruh klaim dapat dibayar BPJS Kesehatan kepada faskes. “Kewajiban kami membayar klaim kepada provider atau faskes dapat dilakukan secara baik,” katanya.

Untuk menjaga keberlanjutan program JKN, Ikhsan mengatakan tidak bisa dilakukan dengan cara memberi suntikan dana kepada BPJS Kesehatan. Ikhsan sepakat jika dilakukan evaluasi terhadap iuran, dan menekankan kolektabilitas iuran sehingga dana yang terkumpul bisa optimal.

Dijelaskan Ikhsan, tingkat kolektabilitas PPU sebenarnya tergolong tinggi, terutama PPU yang berasal dari penyelenggara negara. Yang perlu dioptimalkan adalah PPU yang berasal dari badan usaha, terutama swasta. Di sejumlah daerah masih ditemukan besaran upah minimumnya kecil sekalipun tingkat kolektibilitasnya tinggi tapi uang yang terkumpul tergolong kecil.

Ikhsan mengatakan BPJS Kesehatan berharap program JKN bisa terjaga keberlanjutannya. Untuk itu manfaat dan besaran iuran harus sesuai. Ketidaksesimbangan pemasukan dan pengeluaran akan mempengaruhi keberlanjutan program JKN. Ia menginginkan agar rasio klaim BPJS Kesehatan tidak melebihi 90 persen.

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan keberlanjutan program JKN harus terjamin. Jajaran direksi BPJS Kesehatan harus profesional dan pemerintah perlu berperan untuk membantu misalnya dengan mengalokasikan APBN.

Timboel menegaskan potensi BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan iuran ada pada peserta PPU. Jika BPJS Kesehatan mampu mengajak 30 juta pekerja yang ada di Indonesia menjadi peserta maka potensi pemasukan bagi BPJS Kesehatan sekitar Rp36 triliun setiap tahun. “Kemudian penerapan sanksi terhadap yang melanggar aturan harus dilakukan secara tegas. Kalau itu dijalankan saya yakin BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit dan rasio klaim bisa mencapai 90 persen,” tegasnya.

Timboel menegaskan, Perpres No. 111 Tahun 2013 memerintahkan jajaran direksi BPJS Kesehatan untuk membentuk sistem yang mampu mengumpulkan iuran dengan baik. Sayangnya, itu tidak dilakukan. BPJS Kesehatan sampai saat ini hanya bekerjasama dengan tiga bank BUMN.

Padahal, kerjasama yang lebih luas harus dibangun sehingga memudahkan peserta dalam membayar iuran. Misalnya, BPJS Kesehatan bisa menjalin kerjasama dengan kantor pos sehingga peserta yang mau membayar iuran hanya perlu menyambangi kantor pos.
Tags:

Berita Terkait