Pemerintah Anggap Uji UU Perlindungan Konsumen Keliru
Berita

Pemerintah Anggap Uji UU Perlindungan Konsumen Keliru

Permohonan ini bukanlah persoalan konstitusionalitas berlakunya norma, melainkan masalah penerapan norma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah yang diwakili direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo saat menyampaikan keterangan. Foto: Humas MK
Pemerintah yang diwakili direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo saat menyampaikan keterangan. Foto: Humas MK
Pemerintah menganggap pengujian Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf aUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) tidak tepat atau keliru diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal itu hanya mengatur jaminan informasi kondisi barang atau jasa agar tidak merugikan konsumen, bukan kewajiban mencantumkan domisili badan usaha yang bertanggung jawab.

“Menambahkan informasi terkait nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap barang dan jasa menjadi tidak tepat karena kedua pasal itu hanya untuk kondisi barang atau jasa, bukan informasi (domisili) pelaku usaha,” ujar Dirjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo saat memaparkan pandangan pemerintah dalam sidang pengujian UU Perlindungan Konsumen di gedung MK, Senin (27/7).

Widodo menuturkan persoalan mengenai nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab yang berakibat merugikan konsumen sebenarnya telah diatur Pasal 8 ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen. Beleid ini melarang pelaku usaha yang memproduksi dan memperdagangkan tidak memasang label atau memuat nama dan alamat pelaku usaha. “Persoalan ini sebenarnya menjadi kewenangan peradilan umum, yang menyangkut penanganan kasus pidana atau perdatanya sesuai peraturan yang khusus mengatur malpraktik,” lanjutnya.

Karena itu, dalam pandangan Pemerintah, permintaan penambahan frasa “serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab” dalam kedua pasal tersebut kabur (obscuur libel). Aturan tanggung jawab pelaku usaha sudah diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen. Apabila tanggung jawab ini tidak dilaksanakan, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana.

“Permohonan ini bukanlah persoalan konstiusionalitas berlakunya norma, melainkan masalah penerapan norma. Karena itu, kedua pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Widodo menambahkan selama ini pihaknya sudah menerapkan sistem pengawasan barang atau jasa secara online yang menyangkut kerugian yang diderita konsumen termasuk alamat domisili pelaku usaha. “Kita siapkan instrumen pengaduan bagi konsumen yang merasa dirugikan,” katanya.

Dalam persidangan, pemohon sendiri menyatakan akan menghadirkan dua ahli dan lima saksi dalam persidangan berikutnya. “Untuk sidang akan datang, Senin 10 Agustus, kita akan memeriksa dua ahli dan memberi kesempatan mendengarkan keterangan DPR,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat sebelum menutup persidangan.

Sebelumnya, Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro memohon pengujian Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf c menjaminhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Lalu, Pasal 7 huruf a mengatur kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

Ketentuan itu dinilai tidak mencantumkan hak konsumen mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum (rumah sakit) dari produk barang dan atau jasa yang dibeli konsumen. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi produsen mencantumkan nama badan hukum dan domisili lengkap yang bertanggung jawab atas produk barang atau jasa yang dibeli konsumen itu.

Alasannya, salah satu pemohon pernah mengalami kasus malpraktik di sebuah rumah sakit dan kesalahan domisili developer penjualan rumah. Namun, ketika proses sidang gugatan pelanggaran hak konsumen seringkali tidak diterima pengadilan dengan alasan error in persona. Penggugat dinilai salah alamat menggugat lantaran alamat yang digugat bukan pihak yang bertanggung jawab. Kedua pasal itu diminta tafsir bersyarat yang mewajibkan pelaku usaha mencantumkan nama badan hukum dan domisili yang lengkap yang bertanggung jawab atas setiap produk barang atau jasa yang dijual.
Tags:

Berita Terkait