Berstatus Tersangka, Gatot Pujo Sebaiknya Dinonaktifkan
Berita

Berstatus Tersangka, Gatot Pujo Sebaiknya Dinonaktifkan

Agar konsentrasi dengan penyidikan kasusnya.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho. Foto: RES
Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho. Foto: RES
Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho bersama istri keduanya Evi Susanti menjadi tersangka dalam kasus dugaan  suap Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Demi menjalankan roda organisasi dan birokrasi di pemerintahan daerah, Gatot sebaiknya dinonaktifkan.

“Kalau susdah tersangka pasti sulit. Ada baiknya dinonaktifkan,” ujar Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (29/7).

Berbeda dengan negara luar, kata Fadli, pejabat negara yang berstatus tersangka akan mengundurkan diri secara sukarela. Kendatipun nantinya dijabat oleh pelaksana tugas, masih menyisakan ganjalan. Pasalnya kewenangan pejabat pelaksana tugas tidak memiliki kewenangan penuh seperti halnya pejabat kepala daerah definitif.

Menurutnya, dana bantuan sosial acapkali menjadi masalah. Kasus dana bantuan sosial kerap menjadi batu sandungan pejabat kepala daerah. Makanya diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan dan penyaluran dana bantuan sosial agar tidak menjadi batu sandungan.

Masyarakat di daerah umumnya memerlukan dana bantuan sosial. Hanya saja mekanisme penyalurannya terkadang menyimpang. “Di situ selalu ada peluang disalahgunakan. Kalau dihapus tidak ada lagi ruang bagi pemerintah daerah untuk bantuan semacam itu,” ujarnya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku prihatin dengan kasus yang menjerat Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Menurutnya, meski berstatus tersangka, Gatot masih melaksanakan tugasnya sebagai orang nomor satu Sumatera Utara. Dengan kata lain, Gatot masih melaksanakan kewajibannya sebagai Gubernur Sumatera Utara.

“Saya sebagai Mendagri ikut prihatin atas kasus Gubernur Sumatera Utara,” ujarnya melalui pesan pendek kepada wartawan.

Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, meski telah berstatus tersangka, semua pihak mesti mengedepankan asas praduga tak bersalah terhadap Gatot. Publik pun diminta menunggu hasil perkembangan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurutnya, jika saja KPK sudah melimpahkan ke pengadilan untuk kemudian dilakukan sidang, maka bukan tidak mungkin Gatot bakal dibebas tugaskan sementara dari jabatan Gubernur. Langkah itu itu dilakukan agar Gatot dapat berkonsentrasi terhadap kasus hukum yang menjeratnya.

Gatot menjadi Gubernur diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Juru bicara PKS, Mardani Ali Sera mengatakan mendukung penuh proses penegakan hukum. Tentu saja proses hukum dengan cara yang adil dan profesional tanpa melanggar ketentuan hukum acara. “Pengadilan nanti yang akan memutuskan,” ujarnya.

Dikatakan Mardani, kasus yang menjerat  Gatot murni kapasitasnya sebagai pejabat publik. Oleh sebab itu, Mardani meminta kepada publik agar tidak mengaitkan kasus Gatot dengan PKS. Menurutnya semua pejabat publik dari PKS, kebijakannya lepas dari semua jabatan struktural. “Dan sekali lagi itu bukan kasus PKS,” katanya.

Lebih jauh, Mardani menegaskan penetapan tersangka terhadap Gatot yang notabene kader PSK tidak akan menyurutkan langkah politik PKS berlaga dalam Pemilihan Kepala Daerah. Khususnya di Sumatera Utara sebagai basis suara masa partai berbasis kaderisasi itu. “PKS kuat dikader yang mengakar di masyarakat,” tukasnya.

Sebagaimana diberitakan, Gatot bersama sang istri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh (KPK). Keduanya ditengarai memberikan suap terhadap hakim PTUN Medan melalui M. Yaghari Bhastara –notabene anak buah OC Kaligis-. Yaghari dan OC Kaligis pun kini sudah terstatus tersangka. Sementara, ketiga hakim PTUN Medan yakni Tripeni Irianto Putro, Amir Fauzi dan Dermawan Ginting serta satu orang panitera yakni Syamsir Yustfan pun berstatus sama dengan OC Kaligis.

Pasal yang disangkakan kepada Gatot dan Evi merupakan pasal pemberi suap. Yakni, Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b dan atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Ancaman pidana pada pasal tersebut adalah paling singkat tiga tahun penjara dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta. 
Tags:

Berita Terkait