MUI Hanya Nilai Pungutan Denda Iuran BPJS Kesehatan Riba
Utama

MUI Hanya Nilai Pungutan Denda Iuran BPJS Kesehatan Riba

Fatwa MUI hanya bersifat rekomendasi, sementara BPJS mengacu pada UU. Agar tidak gaduh, pemerintah dan MUI mesti duduk bersama mencari jalan tengah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai dengan kaidah syariah islam. Fatwa MUI itu mendapat respon pro dan kontra dari berbagai kalangan. Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani, misalnya berpandangan MUI tidak mengharamkan BPJS Kesehatan. Ia meluruskan informasi yang simpan siur di tengah masyarakat.

“Polemik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan BPJS Kesehatan perlu diluruskan maksudnya,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (30/7).

Ia menilai MUI sama sekali tidak mengharamkan program BPJS. Hanya saja MUI menilai ada hal yang mesti dikritisi yakni pungutan denda sebesar 3 persen yang mesti dibayarkan peserta BPJS jika mengalami keterlambatan membayar iuran. “Juga tentang akad antar pihak dan pungutan denda keterlambatan itu yang dianggap riba oleh MUI. Jadi bukan BPJS-nya,”  ujarnya.

Politisi Partai Nasdem itu berpandangan, perlunya mencari jalan tengah antara pemerintah dan MUI secara bersama-sama. Kedua belah pihak dapat duduk bersama untuk kemudian mencari jalan tengah dengan tanpa melanggar ketentuan UU BPJS. Lagi pula fatwa haram sebagaimana yang beredar di tengah masyarakat masih sebatas rekomendasi dari sidang ijtima para ulama MUI. Hal itu diketahui Irman dari pihak BPJS.

“Dari sidang itu dibahas tiga hal mengandung unsur gharar atau penipuan. Maisir atau judi dan Riba. Itu yang dipermasalahkan,” ujarnya.

Kepala Tim Komunikasi BPJS Ikhsan mengatakan, dalam sidang ijtima MUI tidak menyatakan BPJS haram. Hanya saja terdapat rekomendasi MUI  terhadap pemerintah. Pertama, pemerintah menerapkan standar minimum atau taraf hidup layak kesehatan bagi masyarakat. Kedua, aturan sistem dan format BPJS Kesehatan agar sesuai prinsip syariah. “Jadi secara tekstual belum ada fatwa MUI  (BPJS) haram,” ujarnya.

Menurutnya, BPJS hanya menjalankan aturan dan ketentuan sesuai dengan amanat UU. Sementara MUI hanya menerbitkan rekomendasi. Sistem program BPJS yang berjalan prinsipnya mengedepankan gotong royong antara satu dengan lainnya. Nah, prinsip gotong royong itulah dinilai Ikhsan prinsipnya sudah sesuai dengan rekomendasi MUI kepada pemerintah.

“Rekomendasi kepada pemerintah, ya pemerintah jawab, kita sudah berjalan dengan regulasi yang ada. UU SJSN, BPJS, PP dan Perpresnya. Sembilan prinsip gotong royong tolong menolong sudah kita jalankan,” katanya.

Sementara Ketua Komisi IX Dede Yusuf berpendapat, pembuatan UU BPJS telah melibatkan sejumlah stakeholder. Menurutnya, jika UU telah disahkan maka semua pihak mesti mengacu pada kesepakatan melalui regulasi yang telah diparipurnakan. Ia memaklumi dengan pandangan MUI sesuai dengan syariat islam. “Tapi UU dibuat mengacu pada Republik Indonesia,” imbuhnya.

Ia berpandangan semua pihak bebas menyatakan pendapat. Hanya saja, Dede akan memberikan komentar setelah mendapat surat resmi terkait pelanggaraan apa saja terhadap UU NPJS. Ia menantang MUI jika dapat membuktikan kebenaran tudingannya karena bukan tidak mungkin UU BPJS dapat direvisi melalui upaya uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Namun langkah itu dapat dicegah sepanjang presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Sebelumnya, pendapat MUI mengenai sistem penyelenggaran BPJS ini ada melalui hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 yang menyebut program BPJS termasuk modus transaksional, khususnya BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah. Sebagaimana Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI (DSN-MUI) dan beberapa literatur secara umum belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.

Terlebih jika dilihat dari hubungan hukum atau akad. Di antaranya ketika terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah. Alhasil, dikenakan denda administratif sebesar dua persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu tiga bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja.
Tags:

Berita Terkait